Rintik Hujan dan Asap Kopi

Tianaqila
Chapter #21

21-Panasea

***

Jendela kamar Rin terbuka sebagian. Sinar mentari langsung masuk hingga menerangi kamar bernuansa biru itu dengan sangat cerah.

Di hari ke 19, tepat saat Rin berulang tahun. Rima memberitahu jika hari itu adalah hari terakhir bagi Rin untuk bisa bertemu Cakra, dan ia harap Rin mampu mengungkapkan isi hatinya kepada Cakra.

Sesuai dengan janji kemarin, Cakra berjumpa lagi dengan Rin di kafenya, di meja no.11. Dengan mengajikan secangkir kopi arabika, keduanya berbicara.

Rin mengucapkan terimakasih karena Cakra sudah menjadi teman baiknya selama 19 hari kebelakang. Juga karena Cakra bersedia berbagi cerita dengannya, terutama tentang Lintang. Pertemuan hari itupun diakhiri dengan tangan Rin berjabatan dengan Cakra.

Semula ia berniat mengungkapkan perasaan pada Cakra, namun ia berpikir tidak semua harus diungkapkan. Ada baiknya jika perasaan kepada Cakrawijaya bukanlah sekedar pelarian sebab ia telah kehilangan sosok Cakrawala yang ia cintai. Jadi ia memutuskan untuk mengambil langkah diam.

"Cakra. Sepertinya hari ini adalah hari terakhir aku bisa bertemu denganmu." Kata Rin sesampainya mereka di depan pintu keluar Coffee Shop.

Cakra menoleh pada Rin. Menatap wajah Rin yang sedang mengarah ke jalan raya di depannya, menikmati hiruk pikuk jalan yang ramai. Senyum Cakra mendadak pudar seiring alisnya yang bertaut heran, "Kenapa? Apa karena liburanmu telah habis?" Nada bicara Cakra terdengar sedih.

Rin masih tetap pada posisi yang sama. Tidak pula ikut menoleh pada Cakra. "Benar, liburanku telah habis. Dan sepertinya untuk jangka waktu lama aku akan menetap di Jakarta."

"Kita bisa saling kabar lewat instagram, whatsapp, dan sosial media yang lain."

Rin menggeleng. Sejenak ia menghela napas, "Tetap tidak bisa, Cakra. Kecuali jika aku ingin kembali lagi kesini."

Cakra terdiam cukup lama mendengar ucapan dari Rin. Jujur, ia merasa sedih karena harus berpisah dengan seorang teman yang baru dikenalnya selama 19 hari itu, namun telah memberikan suatu kenangan berarti dalam hidupnya, terutama mempertemukan dia dengan Lintang.

"Kalau begitu, bolehkah aku meminta satu hal darimu, Rin?"

"Apa?" Tanya Rin yang kemudian mengalihkan arah pandang kepada Cakra.

Tanpa banyak bicara, Cakra menarik tubuh Rin mendekat padanya. Memeluk gadis yang mendadak kaku akibat perlakuannya. "Aku senang bisa bertemu denganmu, Rin. Terimakasih sudah hadir ke dalam hidupku."

Semula Rin enggan, tetapi terkadang hati tidak sesuai dengan perbuatan. Ia pun membalas pelukan Cakra. Sejenak ia kembali merasa bahwa Cakra yang sedang dipeluknya adalah Cakrawala Jingga. "Aku kangen sama kamu, Cakra." Rin bergumam pelan. Tetesan air mata yang membasahi baju Cakra sebagai pertanda kerinduan itu memang berasal dari dalam hati terdalam.

Pelukan itu perlahan melonggar saat dering ponsel penanda panggilan terdengar. Ponsel milik Cakra.

"Maaf. Aku terima telpon dulu." Ujar Cakra yang kemudian menjauh beberapa langkah.

Kepala Rin mengangguk pertanda setuju. Setelah Cakra agak menjauh, Rin buru-buru menghapus sisa air matanya. Napasnya ia coba atur kembali. Dalam hati ia terus meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah perpisahan ini. Ya walaupun ia tidak akan lagi bertemu dengan sosok Cakra selamanya.

Sekembalinya Cakra dari menelpon, bibirnya tampak terus melengkungkan senyum bahagia. "Rin... kamu tau, Lintang sudah siuman?"

"Syukurlah jika Lintang sudah siuman. Kamu pasti sangat senang, kan?"

"Pasti aku sangat senang, Rin." Jeda, sepertinya ia teringat sesuatu. "Apa kamu mau ketemu dulu dengan Lintang sebelum pergi?" Sorotan mata Cakra berbinar penuh harap.

"Maaf aku gak bisa ikut. Kebetulan kereta aku sebentar lagi berangkat. Aku titip salam aja ya sama Lintang." Rin pamit pergi setelahnya. Cakra tidak bisa lagi mencegah. Ia hanya bisa membiarkan perpisahan yang sebenarnya tidak ia inginkan terjadi.

Rin mulai melangkahkan kaki menjauh dari Coffe Shop Cakra. Saat baru beberapa langkah, suara Cakra terdengar memanggil namanya.

Lihat selengkapnya