Rintik Hujan dan Asap Kopi

Tianaqila
Chapter #22

22-Impresif

***

Deru mobil terus melaju, bergabung bersama puluhan mesin baja beroda lain di jalanan menuju Jakarta. Siang itu Rin memutuskan untuk kembali ke kost di Jakarta. Dia tidak sendiri sebab ayah, bunda, Rima, dan Rimba ikut mengantarkannya. Alasan mereka selain untuk menemani Rin diperjalanan juga sekalian berlibur menghabiskan akhir pekan.

Rima sangat senang. Itu terbukti dari lagu yang ia senandungkan bersama dengan Rimba dari awal mobil berjalan. Ayah yang biasanya galak dan pemarah malah ikutan bernyanyi sesekali. Tak jarang juga membercandai bunda hingga tersipu malu.

Pemandangan itu sangat diimpikan oleh Rin selama ini. Bagaikan sebuah keajaiban, ia bisa memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia. Tidak ada pertengkaran apalagi permusuhan. Sungguh idaman.

Suasana hati Rin turut bahagia, tetapi masih ada satu hal yang mengganjal pikirannya akibat perkataan Rimba kemarin saat ia tengah membereskan pakaian yang akan dibawanya menuju Jakarta.

--

Malam sebelumnya...

 

Tok... tok... tok...

 

"Rin, lo ada di dalam?" Terdengar suara Rimba dari balik pintu kamar.

"Ada. Masuk aja." Rin mempersilakan Rimba untuk masuk sementara ia masih sibuk dengan pakaiannya.

 

Derik pintu yang membuka terdengar. Dibaliknya muncul Rimba yang mulai berjalan masuk menghampiri Rin. Mengambil kursi meja belajar lalu meletakkan di dekat kasur Rin yang penuh tumpukan baju. Ia pun duduk dengan santai.

"Rin."

Yang dipanggil menjawab dengan berdehem.

 

"Lo tau gak gue ditemuin pingsan dimana kemarin?"

 

Rin menoleh sebentar, "Di rumah sakit? Gak tahu." Bahu Rin terangkat, tanda ia tidak tahu dan tidak ingin menjawab teka-teki apapun saat sibuk merapikan pakaiannya.

 

Rimba memutar bola matanya, moodnya untuk bermain teka-teki dihancurkan seketika. "Beneran lo gak mau tau walaupun berkaitan dengan Cakra?"

 

Hanya karena terdengar nama "Cakra" mampu membuat Rin menghentikan aktivitasnya.

Senyum smirk Rimba terlihat samar. Dirinya berhasil memancing tanya adik perempuannya itu. "Gue siang itu ditemuin di halaman belakang Coffe Shop punya Cakra. Padahal sebelumnya gue ingat kalo gue terlibat perkelahian sama preman. Gue pikir udah mati karena dikeroyok. Tapi ternyata gue masih hidup. Dan orang yang menyelamatkan gue..." Tiba-tiba Rimba berhenti berujar. Terdengar helaan napasnya yang berat sebelum ia melanjutkan. "Gue diselamatin sama musuh bebuyutan gue, sekaligus orang yang lo suka. Cakra."

 

"Mana mungkin?" Rin bereaksi. Kini ia duduk berhadapan dengan Rimba. "Mustahil kalo orang yang sudah gak ada bisa nolongin manusia yang masih hidup."

 

Tatapan mata Rimba berubah serius. "Gue gak bohong. Ingatan gue masih berfungsi baik. Bahkan saat dia sudah tersungkur ke aspal, dia masih bisa bilang semuanya akan baik-baik aja."

"Apa dia, maksudku Cakra ada bilang sesuatu tentangku?"

 

Lihat selengkapnya