Dengan kehadiran Hazimah, tanggung jawab Zai terasa bertambah. Ia bekerja lebih keras dari biasanya, berusaha memastikan bahwa kebutuhan keluarga mereka terpenuhi. Namun, ini berarti Zai semakin jarang berada di rumah, jarang bertemu dan membantu Nur. Nur, yang merasa kesepian dan lelah, mencoba menjalani hari-harinya dengan penuh kesabaran.
Seperti biasa, Zai mendokumentasikan momen mengawali hari dengan jepretan yang tak terhitung jumlahnya bersama Hazimah. Foto-foto ini kemudian diunggah ke media sosial, mengumumkan kebahagiaan mereka kepada dunia. Respon dari netizen luar biasa, dengan ribuan ucapan selamat dan doa yang mengalir.
Pagi itu, ketika Hazimah baru tertidur setelah menyusu, Nur menemani Zai untuk sarapan. Ia menyiapkan teh hangat untuk suaminya, berharap momen sederhana ini bisa mengurangi rasa kesepiannya. Namun, suasana berubah ketika Mama tiba-tiba berkomentar.
“Berapa sendok ini gulanya? Jangan terlalu banyak manis, nanti anak Mama diabetes. Pagi-pagi gini air putih hangat juga sudah cukup.” Kata Mama dengan nada cemas.
Zai bingung menghadapi situasi ini, dan memilih untuk diam. Nur, yang merasa tersinggung dan tidak dihargai, mematung dan merasakan tangannya mendadak dingin. Tepat pada saat itu, tangisan Hazimah terdengar dari kamar. Nur bergegas menenangkan dan menidurkan Hazimah kembali.
Setelah Hazimah tertidur, Nur keluar dari kamar untuk menemui Zai. Namun, ia menemukan bahwa Zai sudah pergi untuk memotret di acara launching produk kliennya. Perasaan kecewa dan kesepian makin mendalam.
Mama yang masih di sana, menambah beban perasaan Nur dengan nasihat yang terasa menyudutkan. “Ketika kamu sudah menjadi ibu, jangan lupa bahwa kamu juga seorang istri. Jangan sampai anak saya sudah jadi suami, jadi ayah, tapi terasa seperti bujangan.” Katanya dengan nada tegas.
Nur hanya bisa menelan ludah, menahan tangis yang terasa memenuhi dadanya. Nur hanya bisa mengangguk dan kembali ke kamar. Ingin sekali rasanya menangis, tapi ia tahu bahwa jika ia menangis, Hazimah mungkin akan terbangun. Dengan hati yang berat, Nur mencoba memahami situasi ini.
Sore itu, Nur sudah menunggu Zai pulang. Ia merasa begitu lelah dan butuh berbicara dengan suaminya tentang semua yang dirasakannya. Namun, Zai baru pulang setelah maghrib. Nur yang sudah menahan kesabarannya sepanjang hari, akhirnya meluapkan semua keluh kesahnya tentang Mama.
“Bang, aku gak bisa seperti ini terus. Aku mohon, tolong antar Mama Abang pulang. Aku sudah tidak kuat.” Kata Nur dengan nada yang tegas namun penuh kelelahan.
“Aku menjadi kaku dan canggung di rumahku sendiri.” Tambah Nur dengan ketus.
Zai terkejut dengan sikap Nur yang semakin hari semakin sensitif dan mudah tersinggung. Ia bingung bagaimana harus merespons. “Nur, Mama gak bisa Abang antar pulang begitu saja. Apa kata Mama nanti? Mama mungkin akan merasa diusir oleh kita.”
“Pikirkanlah caranya, Bang. Aku gak tahu, tapi aku gak bisa seperti ini terus. Abang sendiri yang bilang kalau Mama mungkin hanya satu minggu. Ini sudah seminggu lho, Bang. Aku sudah bersabar.” Jawab Nur, matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku ingin Ibu ada di sini.” Air mata Nur pun mengalir.
Zai mencoba menenangkan Nur. “Nur, sabarlah sebentar lagi. Mama tidak akan selamanya tinggal di sini. Mama sudah tua dan hanya ingin membantu.”
Namun, Nur tidak bisa menahan perasaannya lagi. “Aku ingin mencari asisten rumah tangga untuk membantu urusan domestik. Mama tidak perlu membantu kita lagi di sini.”
Zai menghela napas, merasa bingung dan tertekan. “Nur, tolong mengerti. Mama yang melahirkan Abang, Abang harus menghormatinya dan bantulah Abang untuk melakukan itu.”
Perselisihan semakin memanas. Nur merasa diabaikan dan tidak dihargai. “Lantas aku ini apa? Orang asing yang masuk dalam hidup kalian?”
Zai merasa terpojok dan frustrasi. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung pergi ke kamar mandi, berganti pakaian, dan bergegas keluar rumah.
“Bang, mau ke mana?” tanya Nur dengan nada marah.