Setelah acara aqiqah yang megah, hubungan Nur dan Zai makin menjauh. Nur semakin tenggelam dalam kesibukan bisnisnya yang sedang naik daun. Setiap hari, ia sibuk dengan promosi produk NurCraft, menjalin kerja sama baru, dan mengelola media sosial yang kini memiliki lebih dari satu juta pengikut.
Ia meminta Zai untuk memotret produk-produk NurCraft dengan Hazimah sebagai model. Meski berat hati, Zai tetap melakukannya karena ingin mendukung istri dan bisnisnya, meski ia merasa anak mereka tidak perlu terlibat dalam pekerjaan ini.
Nur sering mengunggah foto-foto romantis keluarga dan produk endorse, menciptakan citra kehidupan yang sempurna di mata para pengikutnya. Namun, kenyataan tidak selalu seindah yang terlihat.
Malam itu, setelah Zai pergi bekerja memotret di luar, Nur merebahkan diri di samping Hazimah yang sudah terlelap. Tiba-tiba, peri-peri yang tak pernah diundang kehadirannya kembali datang, mengagetkan Nur.
"Nur, gimana? Enak ya bisnisnya sukses dan followersnya sudah satu juta lebih?" Tanya peri hitam dengan nada mengejek.
Nur ragu-ragu untuk mengangguk. Ia merasa kesuksesannya tidak seenak yang terlihat di media sosial. Beban tanggung jawab, kelelahan, dan jarak yang semakin terasa antara dirinya dan Zai membuatnya ragu.
"Kenapa ragu, Nur? Enak hidup jadi orang sederhana aja ya, nyesel ya Nur jadi kayak gini?" Tambah peri hitam, semakin memperparah keraguan Nur.
Nur mulai marah. "Kalian ini apa-apaan sih dateng sesuka hati kayak gini dan bicara seenaknya!"
Peri hitam tertawa terbahak-bahak. "Lho bukannya kamu butuh kita ya, Nur? Kalau kita nggak datang gimana bisa ada tawaran endorse dan promosi produkmu bisa naik?"
Peri putih segera membela Nur. "Hush, kamu jangan gitu. Jangan didengerin, Nur. Kami di sini buat support dan doain kamu."
Nur, yang sudah sangat lelah dan frustasi, akhirnya tidak bisa menahan emosinya lagi. "Pergiiiiiiiii kaliaaaannnn!" Teriaknya dengan penuh amarah.
Peri-peri itu menghilang, meninggalkan Nur sendirian dalam kegelapan malam. Nur duduk di samping Hazimah yang masih terlelap, air mata perlahan mengalir di pipinya. Ia merasa terjebak antara kesuksesan yang telah diraih dan kebahagiaan keluarga yang mulai memudar.
Zai masuk ke kamar dengan wajah cemas. "Nur, kenapa tadi kamu teriak?" Tanyanya.
Nur dengan singkat menjawab, "Tidak apa-apa."
Sejak malam itu, pernikahan Nur dan Zai semakin dingin dan kaku. Nur menyampaikan bahwa akan ada asisten rumah tangga yang datang untuk membantunya mengurus keperluan domestik rumah. Zai hanya mengangguk tanpa banyak bicara.
"Aku mau keluar sebentar, ada yang mau dibeli di minimarket?" Tanya Zai.
Nur menggeleng. "Tidak perlu, aku sudah pesan makanan dengan delivery order."
Zai langsung keluar kamar dan bertemu Mamanya saat ia hendak masuk ke dalam mobil. "Mau ke mana, Zai?" Tanya Mamanya.
"Mau ke minimarket, sekalian cari makan." Jawab Zai.
"Mama baru selesai masak. Kamu bisa makan di rumah setelah pulang dari minimarket." Kata Mamanya sambil tersenyum.
Zai mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah kembali dari minimarket, Zai duduk di ruang makan dan mulai menyantap makanan yang disiapkan Mamanya. Mamanya duduk di depannya, menemani.
"Bagaimana kabar Ayah selama Mama di sini?" Tanya Zai.
Mamanya hanya diam sejenak, kemudian mengalihkan pembicaraan. "Ayahmu baik-baik saja, Zai. Jangan khawatir tentang itu."
Zai merasakan ada yang tidak beres, tapi ia tidak ingin mendesak Mamanya lebih jauh. Mereka makan dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Setelah makan, Zai kembali ke kamar dan menemukan Nur sedang sibuk dengan pekerjaannya.
"Ada apa, Bang?" Tanya Nur tanpa menoleh.
"Gapapa." Jawab Zai dengan datar.
Nur menghela napas. "Oh ya."
"Jadi beli makan apa?" Tanya Nur.
Zai menjawab, "Tadi makan masakan Mama."
Nur mendadak cemburu. "Oh enak ya, ada Mamanya di sini jadi ada yang masakin."
Zai tidak punya tenaga untuk berdebat. "Sudahlah, Nur. Abang capek. Ke sini mau istirahat."
Nur diam dan mengambil alat memompa ASI. Zai kaget melihatnya. "Nur, kenapa kamu memompa ASI? Bukannya kamu di rumah terus bersama Hazimah?"
Nur menjawab dengan nada kesal. "Iya, sekarang. Tapi nanti aku ingin melanjutkan hidupku berkarya dan bekerja, kayak Abang. Enak kan bisa dengan bebas kemana pun Abang pergi."
"Terus Hazimah gimana?" Tanya Zai.
"Bisa dititip, kan besok sudah ada yang kerja di rumah kita." Jawab Nur.
Zai menggeleng. "Gak bisa gitu dong, Nur. Kita kerja sama bukan berarti semuanya harus kerja. Justru kita saling melengkapi. Apa yang gak bisa aku lakukan, kamu lakukan. Yang gak bisa kamu lakukan, ya aku lakukan."
Nur dengan ketus menjawab, "Emang apa yang gak bisa aku lakukan dan kamu bisa lakukan? Aku bisa kerja sendiri kok, Bang."
Zai mulai tidak mengerti dan tidak mengenali lagi cara berpikir istrinya. Zai pun keluar dan merebahkan dirinya ke sofa di ruang tengah. Ia menatap langit-langit, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia merasakan jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Nur, meskipun mereka berada di rumah yang sama.
Di dalam kamar, Nur juga merasa gelisah. Ia merasakan tekanan dari berbagai arah—tanggung jawab sebagai ibu, istri, dan pebisnis. Ia ingin kembali mengejar mimpinya tanpa merasa terbebani oleh tugas rumah tangga yang seakan-akan membelenggunya.
Zai, yang tidak bisa tidur, memutuskan untuk keluar rumah sejenak untuk mencari udara segar. Di luar, ia duduk di teras, mencoba memikirkan solusi untuk permasalahan mereka. Tidak lama kemudian, Mamanya keluar dan duduk di sampingnya.
"Ada apa, Zai?" Tanya Mamanya dengan pelan.
Zai menghela napas. "Ma, aku bingung sama apa yang sedang terjadi di pernikahanku, di rumah tanggaku ini.”
Mamanya tersenyum. "Setiap pernikahan pasti punya tantangannya sendiri, Zai. Kamu dan Nur harus mencari cara untuk berkompromi. Cobalah untuk mendengarkan satu sama lain lebih dalam. Kamu harus ingat, pernikahan adalah tentang bekerja sama dan saling mendukung. Kamu lakukan tanggung jawab kamu, Nur juga melakukan tanggung jawabnya. Dari situ kalian akan mendapatkan hak masing-masing."
Zai mendengarkan nasihat Mamanya dengan seksama. Ia tahu bahwa ia harus berbicara lagi dengan Nur, kali ini dengan kepala yang lebih dingin dan hati yang lebih terbuka.
Sedangkan Nur didatangi lagi oleh peri-peri netizen yang begitu berisik. Mereka tiba-tiba datang dan berdebat di tempat orang lain. Itu sungguh menyebalkan bagi Nur.