Zai merasa lega setelah mengetahui bahwa kondisi Mamanya yang jatuh tidak terlalu serius. Zai sudah kembali bekerja melanjutkan memotret rumah cluster yang sempat tertunda. Namun, tiba-tiba telepon dari rumah sakit membuat hatinya kembali berdebar.
"Pak, tekanan darah Ibu Anda sangat tinggi, mencapai 240. Mohon segera ke rumah sakit." Kata suara di ujung telepon.
Zai segera menghubungi ayah dan saudara-saudaranya, meminta mereka untuk segera ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Zai mendapati Mamanya sudah tidak sadarkan diri dengan napas yang terdengar berat dan mengorok.
Dokter datang dan menjelaskan dengan wajah serius. "Ibu Anda terkena stroke. Kami sudah memberikan penanganan, tapi kondisinya sangat kritis."
Ayah Zai menangis sambil terus meminta maaf pada istrinya. "Maafkan saya, maafkan saya."
Zai bingung dan bertanya, "Ayah, maafkan apa?"
Namun, ayahnya tidak menjawab dan terus menangis. Saat itu, dokter datang lagi dengan kabar buruk. "Tekanan darah ibu sangat tinggi, dan jantungnya melemah. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sekarang hanya bisa berdoa."
Zai merasa dunianya runtuh. Handphone Zai berdering, panggilan dari Ibu Nur, tapi Zai tidak menyadarinya karena terlalu fokus pada kondisi Mamanya. Ia dan keluarganya menangis, berharap ada keajaiban yang bisa membuat Mama mereka bangun dan kembali bersama mereka.
Hanya hitungan menit kemudian, suara mesin rekam detak jantung berbunyi nyaring. "Tiiiiiiiiittttttttttttttt."
Zai, saudara, dan ayahnya berteriak, "Mamaaaaa!"
Dokter dan tim medis segera memeriksa keadaan Mama, namun setelah beberapa saat, mereka melepaskan peralatan medis dengan hati-hati.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Sabar ya, Pak. Ibu sudah tidak sakit lagi, Ibu sudah istirahat dengan tenang." Kata dokter dengan suara pelan.
Tangisan pecah di ruangan itu. Ayah Zai jatuh berlutut di samping tempat tidur istrinya, sementara Zai dan saudara-saudaranya memeluk satu sama lain, mencoba menemukan kekuatan di tengah kesedihan yang mendalam.
Zai merasa kehilangan yang begitu besar. Ia teringat semua momen bersama Mamanya, dan penyesalan mulai menghantui. Namun, di balik semua kesedihan, ia tahu bahwa ia harus kuat untuk ayah dan keluarganya.
Setelah beberapa saat, Zai ingat panggilan yang tidak terjawab dari Ibu Nur. Ia segera menghubungi balik. "Assalamualaikum, Bu. Maaf tadi saya tidak sempat mengangkat telepon."
Ibu Nur di ujung telepon terdengar khawatir. "Waalaikumussalam, Zai. Ada apa? Kenapa terdengar suara tangis?"
Zai mencoba menahan emosinya. "Mama, Bu.” Zai tak bisa menahan tangisnya. “Mama baru saja meninggalkan kita semua."
Ibu Nur terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara bergetar. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Ya Allah.” Ibu Nur kaget, tak menyangka dengan kabar yang ia baru dengar.
“Kami akan ke rumah sakit ya, Zai. Tunggu Ibu dan Nur."
Tidak lama kemudian, Nur dan Ibunya tiba di rumah sakit. Nur langsung memeluk Zai, yang terlihat begitu hancur. Sedangkan Ibunya, menggendong Hazimah yang sedang tertidur.
"Bang, aku ikut berduka." Kata Nur dengan suara rendah penuh penyesalan.
Perasaan Zai campur aduk ketika melihat kehadiran Nur. Duka mendalam masih menyelimuti, kehadiran keluarga memberi sedikit kekuatan untuk menghadapi masa sulit ini.
Keluarga Zai bersama-sama menjalani proses pemakaman dan mencoba menemukan cara untuk melanjutkan hidup tanpa kehadiran Mama mereka.