Pagi hari, Nur sudah sibuk dengan Hazimah. Ia menyusui, memandikan, dan kemudian duduk santai di teras sambil menikmati matahari terbit. Rasa lega menyelimuti Nur karena Tuti sudah lebih dulu pulang ke rumah kemarin dan kini sedang menyiapkan sarapan.
Zai menyusul Nur duduk di teras sebelum Tika dan karyawan lainnya datang.
"Ternyata perselisihan kita hanya karena belum saling tahu dan mengenali apa yang dihadapi masing-masing oleh kita." Ucap Zai.
Nur mengangguk setuju. "Kita tidak tahu apa alasan orang melakukan hal yang membuat kita tidak nyaman. Karena tidak tahu, kita tidak perlu menghakimi. Belajar jeda dan berprasangka baik sama Allah. Mudah-mudahan Allah memberi kita petunjuk dan menghancurkan perasaan sok tahu kita ini." Lanjut Zai menenangkan.
Nur tersenyum, merasa lebih tenang dan sependapat dengan Zai. Ketika ia baru saja mau menanggapi, Tuti datang mengabarkan bahwa sarapan sudah siap. Mereka pun masuk ke dalam rumah dan sarapan bersama.
Saat sarapan, suasana di meja makan terasa lebih hangat dan akrab. Nur merasa bersyukur memiliki dukungan dari Zai dan Tuti, serta kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Hazimah digendong Tuti agar Zai dan Nur bisa sarapan berdua.
Setelah sarapan, Zai dan Nur duduk bersama Hazimah di ruang keluarga, menikmati momen kebersamaan mereka. Tidak lama kemudian, Tika dan beberapa karyawan tiba, siap untuk memulai hari kerja.
Nur memutuskan untuk berbicara kepada timnya. "Teman-teman, terima kasih atas kesabaran dan pengertian kalian selama ini. Kita semua sedang melalui masa-masa sulit, tapi aku yakin dengan kerjasama kita, kita bisa melewati ini semua."
Tika dan karyawan lainnya mengangguk, merasakan semangat dan ketulusan dari Nur. Mereka tahu bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar yang saling mendukung.
Hari itu berlalu dengan lebih tenang dan produktif. Nur dan Zai bekerja sama dengan lebih baik, saling membantu dan memberikan dukungan. Meski masih ada banyak tantangan di depan, mereka merasa lebih siap menghadapinya bersama.
Menjelang sore, Zai dan Nur duduk kembali di teras, melihat Hazimah yang sedang digendong Tuti di halaman melihat tanaman. Mereka merasa bahwa kebersamaan dan komunikasi yang lebih baik telah membawa mereka ke tempat yang lebih baik.
"Kita akan terus belajar dan berusaha, Nur." Kata Zai sambil menggenggam tangan Nur.
Nur tersenyum dan menjawab, "Iya, Bang. Kita akan hadapi semua ini bersama-sama."
Dengan tekad yang baru dan hati yang lebih tenang, Nur dan Zai yakin bahwa mereka bisa melewati setiap tantangan yang datang. Mereka berdua tahu bahwa cinta, pengertian, dan kebersamaan adalah kunci untuk menjaga kebahagiaan keluarga mereka.
Malam ini, mereka ke rumah Ayahnya Zai lagi untuk ikut pengajian dalam doa bersama untuk almarhumah Mama.
Setelah acara selesai, Bang Zamzam mengajak adik-adiknya untuk berkumpul.
“Abang sudah merenung tentang peristiwa yang terjadi dalam keluarga kita. Abang yakin bahwa semua ini pasti ada hikmahnya. Kalau Abang pikir-pikir, ini memang takdir terbaik untuk kita. Mama sudah tiada, itu takdirnya Allah. Ayah menikah lagi, itu takdirnya Allah. Abang yakin, inilah yang terbaik. Bisa jadi, kalau Ayah tidak menikah lagi, Ayah gak akan kuat menghadapi kehilangan ini seorang diri dan kita juga tidak ada yang bisa menemani Ayah di rumah ini.”
Semua yang mendengarkan mengangguk. Mereka setuju, bahwa takdir Allah selalu yang terbaik tinggal prasangka kita pada setiap takdir itu bagaimana. Jika prasangka itu baik, maka kebaikan pun akan terus bertambah, insyaallah.
“Bang Zamzam benar, Danu bener-bener gak kepikiran sampai sana, kemarin.” Danu bernapas lega merasa siap untuk menerma takdir yang mengejutkan ini.
Saat dalam perjalanan pulang, Nur bertanya kepada Zai, "Bang, abang gak unggah berita duka ini ke media sosial? Untuk minta doa buat Mama, misalnya."
Zai menghela napas. "Abang tadinya mikir gitu, tapi abang ragu dengan keadaan keluarga kita. Nanti netizen banyak tanya terus kita tahu lagi ada banyak netizen yang kurang kerjaan untuk mengetahui kehidupan orang lain dengan detail. Nanti kalau unggah foto, itu siapa yang di sebelah ayahnya Zai, kok kayak nempel banget, dan lain-lain."