Hujan baru benar-benar reda saat pagi mulai merayap perlahan ke langit Babakan Lame. Kabut tetap enggan pergi, menutupi jalanan desa seperti selimut dingin yang terlalu akrab dengan tanah.
Reksa duduk di beranda rumah tua yang kini menjadi tempat tinggal sementaranya. Matanya lelah, tapi otaknya belum berhenti berputar. Suara yang memanggil namanya tadi malam masih bergema samar di pikirannya. Dua kali suara itu menyebut namanya. Dua kali ia mencatatnya.
Tak lama kemudian, suara langkah tergesa dan helaan napas berat membuatnya menoleh. Seorang pemuda dengan jaket hitam basah dan tas ransel besar berdiri di depan pagar, wajahnya separuh cemberut, separuh lega.
"Pak!" Panggilnya. "Sinyal saya hilang. Saya nyasar ke kebun pisang selama dua jam."
Itu Angga-asisten lapangan Reksa yang baru saja lulus dari pelatihan kriminal forensik. Muda, lugu, dan kadang terlalu cerewet, tapi punya ketajaman insting yang Reksa butuhkan. Ia orang yang tidak mudah takut....kecuali soal gelap dan suara-suara tak dikenal.
Reksa mengangguk pelan."Selamat datang di kampung yang sedikit mencekam ini."
Angga meletakkan tas dan menarik kursi."Ada yang aneh semalam, Pak?"
Reksa hanya menjawab dengan anggukan."Nanti saja. Sarapan dulu. Siapkan mental."
Di balai desa, mereka bertemu kembali dengan pak Karna, kepala desa Babakan Lame. Siang itu ia mengenakan baju koko putih dan celana dinas, duduk di ruang kerja sederhana yang hanya berisi meja, dua kursi rotan, dan satu lemari kayu yang dikunci rantai.
Ia mempersilakan mereka duduk dengan senyum tipis. Tapi mata pak Karna memancarkan kekhawatiran yang tak bisa ditutupi-mata orang yang tahu sesuatu yang tak boleh dibicarakan.
"Kalau boleh langsung ke pokoknya," kata Reksa membuka buku catatannya, "kami ingin tahu, sejak kapan anak-anak mulai menghilang?"
Pak Karna menyandarkan punggung. "Yang terakhir, tiga Minggu lalu. Namanya.....maaf, " ia menghentikan kalimat, menatap kosong sejenak, lalu meralat, "Anak dari keluarga bapak Misna."
Angga mengernyit. "Kenapa tak disebut namanya?"