Malam di Babakan Lame turun pelan seperti kabut yang menelan atap rumah satu per satu. Jam dinding berdetak lambat, seolah tak mau sampai ke pukul dua belas. Di luar, hanya suara jangkrik dan gesekan ranting yang sesekali mengganggu keheningan.
Di dalam rumah dinas, Angga duduk sendirian di ruang tamu dengan perekam suara tergeletak di atas meja. Ia baru saja mengganti baterai dan memasang mode rekam otomatis—fitur yang akan menyala hanya jika ada suara melebihi 10 desibel.
Reksa sedang tidur. Ia minta istirahat lebih awal karena mengalami mimpi buruk beruntun sejak kejadian di pasar. Angga menawarkan berjaga malam, dengan alasan ingin “mengawasi” suasana. Tapi sebenarnya, ada alasan lain. Angga ingin membuktikan sesuatu.
Beberapa malam terakhir, ia sering merasa mendengar seseorang memanggil namanya. Samar. Pelan. Tapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
Ia ingin tahu... apakah suara itu nyata.
Ia mengatur posisi duduk, menyalakan kamera HP sebagai cadangan, dan membuka buku catatan di sampingnya. Di halaman pertama ia menulis:
"Eksperimen audio. 00.22 WIB. Tujuan : mendeteksi suara pemanggil."
Tak lama kemudian, ia mematikan semua lampu. Hanya cahaya biru dari layar laptop yang menyala. Angga bersandar ke kursi, mengenakan headset, dan menutup matanya sejenak. Pukul 00.43. Semuanya hening. Lalu...
Klik.
Perekam menyala sendiri.
Angga membuka mata, tubuhnya menegang. Ia mendengarkan ulang hasil rekaman beberapa detik sebelumnya. Kosong. Tapi kemudian... "Angga..."
Suaranya pelan. Seperti napas yang tercium lewat kabut.
Angga langsung duduk tegak. Ia menekan tombol ulang dan menaikkan volume. Kali ini lebih jelas. Suara anak kecil. Tapi bukan sembarang suara—itu suara dirinya sendiri. Lebih tepatnya, seperti suaranya ketika masih berumur tujuh tahun. Penuh kecemasan. Ketakutan. Seolah-olah ia sedang meminta pertolongan... kepada dirinya di masa depan. Angga menoleh ke arah lorong. Hening. Ia mencatat :
00.43 — Suara “Angga” terdengar, terekam jelas. Mirip suara saya saat kecil. Tidak ada sumber suara nyata di sekitar.
00.44 — Suhu ruangan menurun drastis. Alat pendeteksi suhu (termometer digital) turun dari 26°C ke 19°C dalam 1 menit.
00.45 — Mengganti mode rekam ke manual dan standby.
Angga menyalakan kembali lampu kecil di sudut ruangan. Cahaya itu terasa menenangkan, tapi tak sepenuhnya mengusir bayangan yang mengendap di pojok langit-langit. Ia menyender ke kursi, headset masih di kepala. Dan tiba-tiba... Ketukan. Tiga kali. Tok. Tok. Tok. Bukan dari pintu. Tapi dari balik dinding—dekat tempat penyimpanan cermin tua yang selama ini mereka tutupi. Angga berdiri perlahan. Ia membawa perekam dan senter, lalu berjalan menuju lemari tempat cermin itu disimpan. Saat ia mendekat, ia mencium bau aneh—campuran besi berkarat dan tanah basah. Ia menyalakan senternya ke arah kain penutup cermin. Kain itu sedikit bergeser, seolah ditarik dari dalam. Lalu terdengar lagi. "Angga..." Tapi kali ini dari headset. Dan bukan hanya satu suara.
Tiga suara. Semua memanggil “Angga.” Serempak. Berirama. Ia segera mencabut headset dan mundur. Nafasnya memburu. Reksa masih tidur di kamar. Ia ingin membangunkannya—tapi sesuatu dalam dirinya mencegah.
Instingnya berkata: diam, rekam, jangan ganggu suara-suara itu.