Pagi itu, udara Babakan Lame terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari sudah tinggi, namun desahan angin dan kicau burung tertahan—seakan alam ikut menahan napas. Reksa dan Angga melangkah pelan menyusuri jalanan utama desa, membawa tas berisi peralatan dan catatan. Tujuan hari ini: memeriksa seberapa dalam ketakutan warga telah merasuki kehidupan sehari-hari mereka.
“Hampir tidak ada yang menyapa,” gumam Angga, suaranya rendah.
Reksa menoleh, menyapu pandangan. Benar saja: dua orang bapak tua di depan warung kopi tak berani menatap. Seorang penjual sayur di emperan rumah menunduk, tangannya gemetar saat mengikat plastik belanjaan. Bahkan anak-anak yang biasanya berlarian kini duduk terpaku di teras, memandangi mereka dengan mata kosong.
Mereka tiba di lapangan desa, tempat semula di mana warga sering berkumpul untuk rapat kecil atau sekadar berjabat tangan. Namun hari ini lapangan itu kosong sama sekali. Di pojok lapangan, sebuah papan kayu tergantung miring:
“Di malam yang gelap, bibir kami selalu tertutup.”
Reksa mengernyit. “Mereka menulis pesan—tapi tidak berani membacanya dengan suara lantang.”
Angga membuka buku catatannya. “Ini semakin parah. Mereka takut melafalkan kata-kata, meski itu hanya huruf yang tertulis.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju balai desa—tempat di mana Pak Karna biasanya menemui tamu. Saat sampai, pintu balai juga terkunci. Di jendela depan, tampak kursi kayu berserakan. Sebuah kertas menempel di kusen:
“Bisikkan pertanyaan di celah—jawaban akan direspon dengan kode ketukan.”
Reksa menarik napas, lalu mengintip melalui lubang celah pintu. Di baliknya, ruangan gelap. Mereka menghampiri, lalu menepuk pintu dengan pola tiga ketukan—kode tanya yang disepakati mereka sebelumnya. Ketukan mereka dibalas:
Tok… Tok…
Reksa mengetuk kembali: