RIRIWA

Topan We
Chapter #9

Tiga Kali Panggilan

Angin malam menerpa daun-daun kering di halaman penginapan, menimbulkan suara gesekan yang terdengar seperti bisikan. Reksa duduk bersandar di ranjang, menatap catatan yang sudah penuh dengan coretan. Di seberangnya, Angga tengah merapikan alat perekam suara dan menyalin hasil pengamatan hari itu.

"Angga, kamu yakin rekaman kemarin malam tidak bocor?" tanya Reksa tanpa mengalihkan pandangan.

Angga, yang tengah merapikan kabel, menoleh. “Sudah kupastikan, rekaman itu aman. Tidak ada suara lain selain yang terekam dari mikrofon kita, Pak.”

Reksa mengangguk. Lalu, tanpa sadar, ia memanggil lagi. "Angga, kamu sempat dengar suara dari lorong barusan?"

Angga mengangkat alis, lalu berjalan ke jendela. Ia membuka sedikit tirai dan mengintip keluar. “Tidak ada siapa-siapa.”

Reksa duduk tegak, tatapannya mulai gelisah. Bibirnya mengucap lagi, pelan tapi jelas, “Angga... coba dengar baik-baik...”

Tiga kali. Tanpa ia sadari. Tiga kali nama itu meluncur dari mulutnya.

Angga menutup tirai. Ruangan kembali temaram hanya diterangi lampu meja kecil. Udara tiba-tiba menjadi lebih dingin. Reksa memandangi asistenya itu, tiba-tiba merasa ada yang tidak beres. Rasa bersalah menghantam seperti palu di dadanya.

“Angga... aku... barusan...”

Belum selesai ia bicara, sebuah suara tawa lirih terdengar dari luar kamar. Sangat pelan. Seolah dari lorong—atau mungkin dari dalam dinding.

Mereka saling berpandangan. Angga berjalan ke pintu, menempelkan telinganya. Detik berikutnya, tubuhnya kaku.

Reksa meraih bahu Angga. “Ada apa?”

Perlahan, Angga membalikkan tubuhnya. Wajahnya pucat.

“Ada yang memanggil aku... dari kamar sebelah. Suaranya.....suaraku sendiri.”

Panik. Reksa langsung membuka tas dan mengambil senter. Mereka menuju kamar sebelah, kamar kosong yang belum pernah dipakai sejak mereka tiba. Saat membuka pintu, udara dingin menyergap. Di dalam, hanya ada satu ranjang, meja kayu, dan sebuah cermin besar menempel di dinding.

Cermin itu... retak. Tidak seperti kemarin. Retak dari tengah, membentuk pola seperti mata laba-laba.

Angga mendekat. Ia mengangkat senter, menyorot ke permukaan kaca. Dan ia melihat—pantulan dirinya... tersenyum.

Tapi tubuhnya tidak bergerak.

“Pak Reksa,” bisiknya lirih. “Lihat ini... pantulanku bergerak sendiri.”

Reksa menyaksikan dengan ngeri. Dalam cermin, Angga melambai. Namun tubuh Angga asli diam membeku di depannya.

Tiba-tiba pantulan Angga dalam cermin membuka mulut—dan berkata dalam suara rendah, seperti bisikan daun kering:

“Sudah tiga kali kau panggil. Kini aku milikmu.”

Lihat selengkapnya