RIRIWA

Topan We
Chapter #10

Pohon Randu

Matahari belum sepenuhnya naik, namun bayangan pepohonan di barat sudah mulai memanjang, membentuk garis-garis kelam yang menari di tanah. Reksa dan Angga berdiri di tepi jalur setapak yang nyaris tertutup semak, menatap lebatnya pepohonan di hadapan mereka.

“Pak Karna bilang pohon itu jadi pusatnya... tempat pertama kali Ririwa dipanggil,” ucap Angga lirih, suaranya teredam oleh pepohonan.

Reksa mengangguk. Mereka menyusuri jalan kecil menuju jantung hutan Babakan Lame, tempat mitos, rahasia, dan sejarah kelam desa itu masih hidup dalam bentuk yang menakutkan. Perjalanan mereka tidak mudah. Jalur tanah berlumpur, semak berduri, dan suara-suara aneh yang terdengar dari balik pepohonan membuat langkah mereka lambat. Sekali waktu, Reksa merasa seperti ada yang mengintai dari balik semak. Tapi saat ia menoleh, hanya keheningan yang menyambut.

“Aku pernah dengar,” kata Angga pelan, “konon, waktu Belanda masih di sini, ada seorang pribumi yang dijadikan tumbal oleh penduduk Babakan Lame... agar penjajah takut dan tak lagi masuk ke hutan ini. Ritualnya... dilakukan di pohon Randu.”

Reksa menoleh tajam. “Itu cerita dari mana?”

“Pak Karna.”

Reksa menyipitkan mata. “Kenapa baru bilang sekarang?”

Angga menelan ludah. “Karena waktu itu dia bilang, jika terlalu banyak bicara tentang tempat ini... kita bisa memanggil sesuatu yang sudah tertidur.”

Setelah hampir satu jam berjalan, mereka tiba di tanah yang lebih terbuka. Cahaya matahari menembus sela dahan, membentuk pola terang gelap di tanah. Di hadapan mereka, berdiri pohon yang tidak wajar ukurannya. Raksasa. Tinggi sekitar tiga puluh meter. Batangnya besar, bisa dipeluk 3 orang dewasa. Akar-akarnya mencuat dari tanah seperti kaki laba-laba, menjuntai dan melingkar. Daun-daunnya rimbun, namun tak ada suara burung atau serangga.

Pohon Randu. Angga terdiam lama, lalu berbisik, “Pak, apakah kau merasakannya?”

Reksa tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat, menyentuh kulit kayu yang kasar, lalu mengedarkan pandangannya. Di salah satu sisi pohon, ada bekas lingkaran batu yang tertata rapi. Di tengah lingkaran, tanahnya lebih gelap. Seperti bekas terbakar. Dan di situ, tumbuh semacam bunga kecil, berwarna merah darah.

Reksa berjongkok, menyentuh tanah di tengah lingkaran batu. Masih hangat. Padahal ini di tengah hutan, dan matahari belum cukup kuat menembus kanopi atas. Ia mengangkat tangannya, dan mencium aroma logam. Darah. Angga mundur dua langkah. “Ini... ini baru. Maksudku, ini bukan bekas ritual lama. Ini bekas semalam.”

Lihat selengkapnya