Rumah Pak Haji Soma berdiri di tengah pekarangan lebat. Rimbunan bambu mengelilinginya, dan satu pohon nangka tua membayangi atap genteng yang sudah terlihat menghijau. Tak ada pagar, hanya tali-tali merah yang digantungkan seperti penanda batas gaib.
Reksa mengetuk tiga kali. Tak lama, suara berat menjawab dari dalam, “Masuk saja, Nak. Aku sudah menunggu sejak semalam.”
Reksa merinding. Begitu masuk, ia disambut aroma dupa dan kayu cendana. Ruang tamu sederhana, penuh buku tua dan lemari kaca berisi gulungan kertas, simbol-simbol, dan sepasang boneka kayu bertuliskan huruf-huruf kuno. Di ujung ruangan, duduklah Pak Haji Soma.
Tubuhnya kurus, kulitnya legam seperti arang yang tak pernah padam, dan matanya—tajam, jernih, tidak seperti orang berusia tujuh puluh lebih. Ia mengenakan sarung, baju koko longgar, dan peci songkok hitam yang hampir pudar warnanya.
“Silakan duduk, Nak,” ucapnya. “Kau membawa bayangan yang panjang.”
Reksa duduk perlahan. “Bapak tahu saya akan datang?”
“Setelah kau ke pohon Randu, langit berubah. Aku tak bisa tidur. Burung di atap rumahku mati jatuh. Tanda-tanda lama kembali muncul.”
Pak Haji Soma mengambil sebuah buku dari rak. Halamannya kuning kusam. Di dalamnya, tergambar simbol seperti akar memeluk sebuah mata. Di bawahnya tertulis huruf kuno yang telah dilumuri tinta merah.
“Ini naskah ‘Penamaan Jiwa’. Ditulis oleh orang pertama yang menamai roh itu... Ririwa,” kata Haji Soma.
Reksa menelan ludah. “Apa... arti sebenarnya Ririwa?”
“Ri berarti bayangan. Riwa berarti roh yang tertukar. Tapi jika digabung dan disebut tiga kali, itu jadi panggilan. Bukan untuk satu entitas, melainkan... roh-roh yang kehilangan nama mereka. Anak-anak yang hilang sebelum sempat dikenal dunia.”
Soma berdiri perlahan dan menunjuk ke lemari kaca. “Dulu pada zaman penjajahan Belanda, penduduk Babakan Lame ingin melindungi desa dari penjajah dan perampok. Mereka lakukan perjanjian dengan roh penjaga hutan. Tapi roh itu tidak bisa muncul tanpa wadah. Maka, manusia memberi nama.”
“Siapa yang memberi?” tanya Reksa.