Kabut menyusup dari rimbun hutan dan merambat ke atap-atap rumah. Reksa masih duduk di ruang tamu rumah Pak Haji Soma, menggenggam erat gulungan naskah tua yang diberikan padanya. Di luar, burung malam mulai bernyanyi dengan nada yang terdengar seperti ratapan.
Pak Haji Soma menyalakan lampu. Cahaya redup dari lampu 5 Watt itu memantulkan bayangan mereka di dinding. Bayangan yang tak selalu bergerak sesuai tubuh. Reksa memperhatikannya—dan sesekali menahan napas saat melihat sesuatu yang tidak sinkron.
“Pak...” suara Reksa pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Siapa anak pertama itu?”
Haji Soma menghela napas berat. Ia bangkit perlahan, membuka laci yang lain, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu dengan ukiran mata di atasnya. Ia membukanya hati-hati, seperti membuka nisan tua yang menyimpan kenangan tak ingin diingat.
“Dulu, sebelum ada kata ‘Babakan Lame’,” kata Haji Soma, “desa ini hanyalah ladang kosong, rawa, dan pohon-pohon randu liar. Orang-orang datang dari berbagai tempat untuk membuka tanah, bertani, dan membangun rumah. Tapi mereka tidak tahu... tanah ini bukan kosong. Ia hidup. Ia mendengar. Dan ia lapar.”
“Anak itu lahir saat malam yang paling gelap. Tak ada bulan, tak ada bintang. Ibu si anak meninggal dalam proses persalinan. Ayahnya hilang tiga hari setelahnya di tengah rawa. Anak itu kemudian diasuh oleh para tetua.”
Haji Soma menunduk, suaranya serak.
“Mereka menamakannya Sukar. Nama yang berarti ‘sulit’ atau ‘penghalang’. Tapi para tetua punya rencana. Mereka percaya, dengan memberikan nama kuat pada anak yang lahir di malam tanpa cahaya, mereka bisa memanggil pelindung dari dunia lain—roh penjaga yang mampu menakuti penjajah yang mulai merambah daerah ini.”
Reksa mendengarkan dengan mata membulat. “Jadi... mereka sengaja menumbalkan anak itu?”
“Tidak langsung,” jawab Haji Soma. “Tapi sejak kecil, Sukar dilarang memanggil namanya sendiri. Ia diajarkan untuk menjawab tanpa suara. Mereka menyebut namanya pelan, dalam doa-doa malam, di bawah pohon Randu. Tiga orang tetua menyebut namanya... tiga kali... pada malam bulan mati.”
Haji Soma menarik napas dalam.
“Malam itu... hutan menangis. Air di rawa naik. Dan Sukar—hilang dari tempat tinggalnya. Tapi sehari kemudian, dia kembali... dengan mata kosong. Diam. Dan tak pernah bicara lagi.”
Sukar tumbuh. Tapi ia berbeda. Tubuhnya hadir, tapi jiwanya terasa asing. Anak-anak lain menghindarinya. Hewan-hewan menolak mendekat. Bahkan tanaman di tempat dia duduk layu dalam waktu sejam. Tapi para tetua menganggap itu keberhasilan.
“Mereka pikir roh penjaga telah masuk dan melindungi tubuh anak itu,” kata Haji Soma. “Dan dalam beberapa bulan, memang benar... penjajah yang hendak membuka tambang emas kecil di ujung timur desa, semuanya mati mengenaskan. Tak ditemukan luka. Hanya wajah mereka... seperti membeku dalam ketakutan.”