RIRIWA

Topan We
Chapter #14

Tali Dan Mantra

Pagi itu, kabut belum benar-benar terangkat dari langit Babakan Lame. Udara terasa lebih berat dari biasanya, seolah ada sesuatu yang menggantung di atas desa dan menolak pergi. Reksa memandangi pohon randu dari kejauhan—tempat kutukan bermula—dan merasakan bayangan yang tidak terlihat terus mengikutinya.

Pak Haji Soma telah menunggu di beranda rumahnya, duduk bersila dengan sebuah kotak kayu kecil di depannya. Di sekelilingnya, aroma dupa melayang ringan, berpadu dengan bau tanah dan akar-akaran yang direbus di dalam kuali kecil.

“Sudah waktunya kau tahu,” kata Pak Haji Soma tanpa menoleh.

Dari kotak kayu itu, Pak Haji mengeluarkan seutas tali anyaman berwarna merah kecoklatan, tipis, tapi terasa kuat. Di ujungnya tergantung manik-manik hitam dari batu obsidian. Reksa bisa merasakan hawa panas seketika saat tali itu dikeluarkan.

“Tali ini dibuat dari serat pohon randu pertama. Yang ditanam di tengah hutan oleh leluhur desa,” ujar Pak Haji. “Tapi tali ini bukan sekadar pengikat. Ia adalah penutup mulut.”

“Penutup mulut?” tanya Reksa, bingung.

“Untuk mereka yang hampir kehilangan namanya. Jika seseorang mulai memanggil nama sendiri dalam tidur atau kesurupan, tali ini harus diikatkan pada mulutnya saat malam tiba. Ririwa tidak bisa mengambil nama yang tak pernah diucapkan lagi.”

Pak Haji menyerahkan tali itu dengan tangan gemetar, seolah takut ia sendiri bisa tertelan oleh kutukan jika memegangnya terlalu lama.

Reksa menerima tali itu perlahan. Tangan kirinya sedikit kesemutan saat menyentuh seratnya.

Lihat selengkapnya