Hari itu, langit Babakan Lame diselimuti mendung abu-abu pekat. Burung-burung tidak terdengar. Daun-daun hanya sesekali bergerak, seolah angin pun memilih jalan lain. Reksa dan Angga berjalan menyusuri jalan utama desa menuju balai warga, berharap mendapatkan informasi lebih lanjut setelah ritual semalam yang nyaris merenggut jiwa Angga.
Namun mereka segera menyadari ada sesuatu yang aneh. Warga tak menyapa mereka. Bahkan tidak menoleh. Orang-orang menunduk dalam-dalam, menutup mulut dengan saputangan, selendang, bahkan daun pisang kering. Seorang anak kecil yang melihat Angga dari kejauhan segera ditarik ibunya masuk ke dalam rumah, pintu ditutup rapat.
“Kenapa mereka... seperti itu?” gumam Angga.
Reksa hanya menggeleng. Sesuatu sedang terjadi.
Sesampainya di balai desa, tempat yang biasanya digunakan warga untuk berkumpul, tempat itu kosong. Tidak ada suara. Tidak ada jejak. Namun di dinding papan dekat pintu masuk, terpasang secarik kertas kusam yang ditulis tangan:
“Malam ini, jangan sebut nama siapa pun. Jangan buka suara. Jangan bertanya. Yang menyebut, akan dijemput.”
Tinta di kertas itu luntur sebagian, seolah sempat terkena embun malam. Tapi pesannya tetap jelas. Angga menelan ludah.
“Mereka semua sudah tahu apa yang terjadi kepada kita?”
“Mungkin mereka lebih tahu dari kita,” balas Reksa. “Dan lebih takut.”
Malam mulai merayap dengan cepat. Tak seperti biasanya, tidak ada suara kentongan. Tidak ada lolongan anjing. Reksa dan Angga kembali ke rumah penginapan, tapi mereka bisa merasakan desakan diam yang menghimpit.
Salah satu tetua desa, seorang perempuan renta bernama Bu Mangsur, berdiri di ujung jalan sambil mengacungkan jari ke mulut: isyarat untuk diam. Kemudian dia menunjuk langit. Dan berlalu dalam sunyi.
Reksa masuk ke rumah, menutup jendela, mengunci pintu. Mereka duduk di ruang tengah.
“Hari ini lebih menyeramkan,” gumam Reksa, mengingat tulisan di kertas tadi.
Angga mengangguk, masih menyimpan tali suci di genggamannya.
Di luar, terdengar suara langkah. Tapi bukan langkah biasa. Berat. Tertarik. Seperti tubuh yang diseret. Lalu... berhenti di depan rumah mereka.
Mereka tak berani membuka suara. Bahkan napas pun tertahan. Kemudian, sebuah suara terdengar dari balik dinding. Suara yang tak seharusnya muncul di dunia nyata: