RIRIWA

Topan We
Chapter #16

Pesta

Reksa membuka jendela penginapan dan melihat warga mulai berkumpul di dekat aula balai desa. Namun ada sesuatu yang membuat tubuhnya merinding tanpa sebab.

Mereka tersenyum. Semuanya. Warga Babakan Lame tersenyum, menunduk sopan, dan saling menyapa dengan ramah.

Tapi senyum mereka identik. Lengkung bibir yang sama. Tatapan kosong yang sama. Nada suara yang seragam.

Angga berdiri di samping Reksa, menatap ke luar dan berkata pelan, “Pak… itu bukan mereka.”

Reksa tak menjawab. Karena ia juga tahu. Itu bukan warga Babakan Lame.

Pagi itu, Bu Mangsur tiba-tiba menghilang. Rumahnya kosong, dan pintu belakangnya terbuka, menuju semak belukar di belakang ladang. Reksa, Angga, dan pak Misna memutuskan untuk mencari ke arah ladang tersebut.

Namun yang mereka temukan di balik semak bukan Bu Mangsur—melainkan tiga orang Bu Mangsur.

Ketiganya berdiri sejajar, menatap mereka dengan tatapan kosong dan bibir tersenyum sama.

“Sudah waktunya...” kata mereka bersamaan.

Pak Misna mundur. Angga mencabut tali suci dari sakunya. Reksa mencium bau anyir yang menusuk hidung.

Bayangan-bayangan itu bukan bayangan biasa. Mereka tidak mengikuti arah cahaya. Mereka berdiri sendiri. Dan yang paling menyeramkan—mereka berani bicara.

“Pesta akan segera dimulai. Kalian undangan kehormatan kami.”

Ketika mereka kembali ke desa, keadaan menjadi lebih kacau. Di lapangan, tenda pesta telah dipasang. Warga bergerak bersama, serempak, mengangkat meja dan kursi panjang. Lagu keroncong diputar dari gramofon tua, berputar dengan kecepatan sedikit lebih lambat dari seharusnya—menjadikannya terdengar seperti jeritan halus yang ditahan. Reksa melihat anak-anak berlarian di antara warga. Namun semua anak memiliki wajah yang sama. Bukan kembar. Tapi benar-benar sama: rambut, bentuk mata, bahkan tahi lalat di pelipis kiri. Lima anak, satu wajah.

“Mereka tidak tahu siapa mereka sebenarnya,” kata Angga lirih. “Mereka pikir mereka manusia.”

Reksa menggigit bibir. “Mereka sudah tidak peduli kita lagi.”

Di tengah pesta yang belum dimulai, Reksa mencari Pak Karna, kepala desa. Ia menemukannya di balai desa, sedang duduk dengan pakaian resmi.

Namun Pak Karna tidak mengenali Reksa.

“Kau tamu dari kota, ya?” katanya ramah.

Reksa memicingkan mata. “Pak… ini saya, Reksa. Yang menginap sejak minggu lalu.”

Lihat selengkapnya