RIRIWA

Topan We
Chapter #18

Ritual Kedua

Langit Babakan Lame malam itu berwarna merah tua. Awan menggantung berat, seperti menahan hujan yang enggan jatuh. Di lapangan tengah desa, warga berkumpul. Obor menyala. Wajah-wajah penuh ketegangan, diselimuti kebisuan yang lebih menyeramkan dari jeritan.

Di tengah lingkaran warga, seseorang diikat di tiang kayu. Tubuhnya terguncang. Mulutnya disumpal kain. Matanya memohon. Namun tidak satu pun dari warga berani melihat langsung.

“Dia yang kami lihat muncul di dua tempat,” kata salah satu lelaki paruh baya. “Pagi tadi di warung, siangnya di ladang. Tak mungkin manusia.”

Pak RT berdiri di depan kerumunan. Tangannya gemetar memegang obor.

“Kita harus selesaikan ini sebelum semuanya keburu menjadi bayangan.”

Malam itu menandai ritual kedua—ritual yang menurut cerita lama hanya boleh dilakukan jika warga yakin sepenuhnya siapa yang palsu.

Reksa dan Angga datang terlambat. Mereka baru mendengar kabar dari bocah kecil yang berlari ke penginapan, menangis.

“Mereka bakar orang, Kak! Orangnya masih hidup!”

Angga dan Reksa menerobos kerumunan. Reksa mengenali orang yang diikat. Seorang pemuda pendiam bernama Toni—tukang kayu muda yang pertama kali mengarahkan mereka ke rumah pak Karna.

“STOP!” teriak Reksa. “Jangan bakar dulu!”

Warga menoleh. Tapi suara Reksa seperti tenggelam dalam ketakutan mereka sendiri. Obor dilempar. Api menjilat kayu.

Teriakan Toni menembus malam. Bau daging terbakar menyeruak cepat. Warga menunduk. Beberapa menangis. Tapi tak satu pun berani menghentikan. Angga berdiri terpaku. Reksa hanya bisa menatap api itu dengan napas tercekat.

Beberapa detik setelah tubuh Toni terbakar, sesuatu keluar dari balik pohon di pinggir lapangan. Seseorang. Toni. Dengan pakaian yang sama. Dengan luka di tangan yang sama. Dengan wajah yang penuh ketakutan.

Warga berteriak. Sebagian berlari. Sebagian jatuh terduduk. Obor berguguran. Malam menjadi ricuh.

“Dia di sana! Dia ada dua! Yang dibakar... salah orang!”

Toni yang muncul dari balik pohon segera dikelilingi. Tapi tubuhnya lemas, wajahnya pingsan ketakutan. Ririwa... belum lenyap. Dan yang dibakar tadi—adalah manusia biasa.

Ibu Toni, yang selama ini hanya dikenal pendiam dan lemah, menerobos barisan. Ia memeluk anaknya, berteriak histeris, “Kalian bunuh anakku! Dia... dia tak bersalah!”

Lihat selengkapnya