RIRIWA

Topan We
Chapter #19

Tiga Suara Milik Reksa

Reksa duduk sendiri di ruang penginapan, matanya kosong menatap lantai. Sejak kemarin, rasa gelisah tak kunjung hilang.

Angga masih tidur di ranjang sebelah, tubuhnya kelelahan setelah peristiwa pembakaran yang salah sasaran. Namun Reksa belum bisa memejamkan mata sejak semalam. Ada sesuatu yang menempel di telinganya—seperti desir halus… seperti suara. Tapi bukan suara biasa. Tiga suara. Dan semuanya… suaranya sendiri.

Awalnya datang saat ia sedang mencuci muka di kamar mandi. Air dari ember terasa dingin, tapi tidak membekukan. Saat menunduk, bayangannya di permukaan air menatapnya balik. Lalu… berbicara.

“Reksa… kita harus kabur dari sini. Mereka tidak bisa diselamatkan. Angga, desa ini, bahkan kamu sendiri... semua akan mati.”

Reksa mematung. Suaranya sendiri. Tapi seperti anak kecil yang ketakutan. Ia mengangkat wajah. Tidak ada siapa-siapa. Bayangan di air sudah hilang.

Sore itu, saat Reksa berjalan menuju rumah kosong tempat pengujian nama dilakukan, ia mendengar langkah kaki di belakang. Tapi ketika ia menoleh, jalanan kosong. Namun langkah itu tetap mengikuti—bergerak di ritme yang sama. Kemudian terdengar suara… dari samping telinganya.

“Terlalu lambat. Harusnya dari dulu kita habisi mereka yang ragu. Pak RT, warga pengecut itu, semuanya. Jangan tunggu sampai kamu jadi korban berikutnya.”

Suara itu serak, berat, seperti dirinya dalam keadaan penuh amarah. Bahkan ucapannya terdengar… memuakkan. Tapi sekaligus meyakinkan. Reksa memegang kepalanya. Nafasnya mulai memburu. Apakah ia mulai… terbelah?

Malamnya, di penginapan, ia duduk memeluk lutut. Angga masih tertidur lelap. Lalu datang suara ketiga—pelan, tetapi jelas, seolah dibisikkan dari balik tengkoraknya sendiri.

“Reksa… kamu sudah mati. Yang bernapas ini… hanyalah bayangan. Sudah waktunya berhenti. Biarkan kami mengambil alih.”

Seketika, ruangan berubah dingin. Nafas Reksa terlihat di udara. Bayangan di dinding membesar… tapi tubuhnya tetap diam. Ia berlari ke cermin. Dan di sana, tak ada apa pun.

Reksa panik. Ia menyalakan lampu di kamar penginapanya itu. Mencari pantulan. Mengetes dirinya. Ia mencubit tangan, melukai jari, menulis namanya berulang di kertas. Tapi keraguan sudah tumbuh. Apakah aku masih asli? Ia membangunkan Angga.

“Ada yang salah dengan aku,” ujar Reksa.

Angga mengucek mata. “Apa maksud, bapak?”

Lihat selengkapnya