Kabut pagi menutupi jalan menuju bukit selatan Babakan Lame. Di sana, tersembunyi oleh semak berduri dan pepohonan mati, berdiri sebuah bangunan tua yang bahkan warga desa enggan menyebutnya. Konon, tempat itu tidak hanya menyimpan sejarah... tapi juga menyimpan nama.
Reksa berdiri di depan gerbang besi berkarat yang hampir seluruhnya tertutup lumut. Angga di belakangnya membawa buku catatan milik Pak Karna. Halaman terakhir menuliskan satu kalimat:
“Umbung Nama: tempat terakhir sebelum jiwa tercerabut dari tubuh-tubuh manusia.”
Gerbang tidak bergembok, tapi tak bisa dibuka. Reksa mendorong, tapi tak bergeser sedikit pun. Angga meraba permukaan besi dan menemukan ukiran halus yang nyaris tak terbaca. Ia membaca dengan pelan:
“Nama yang tertulis tak boleh diulang. Nama yang dikunci, tak boleh dibuka.”
“Ini segel,” ujar Angga. “Nama-nama di dalam sini disegel oleh mantra tua. Butuh kata kunci.”
Reksa mengeluarkan catatan kecil dan menuliskan namanya sendiri tiga kali. Tak ada reaksi.
“Coba nama yang hilang,” usul Angga.
Reksa menuliskan nama bocah pertama yang hilang: Sardi.
Logam mengeluarkan suara gemeretak panjang. Pintu terbuka sedikit, cukup untuk tubuh mereka merayap masuk.
Di dalamnya, bangunan itu lembap, gelap, dan dingin. Cahaya senter memantul di dinding batu yang dipenuhi ukiran—semuanya dalam bahasa Sunda kuno. Tapi satu pola terlihat berulang:
Nama - Cahaya - Bayangan - Sunyi
Semakin dalam mereka masuk, lorong menjadi lebih sempit. Dinding-dinding di kiri kanan berubah menjadi deretan laci kayu. Di tiap laci, tertera satu nama… dan tanggal.
“Ini seperti… makam jiwa,” bisik Reksa.
Ia membuka salah satu laci. Di dalamnya ada selembar kain merah dengan tulisan nama “Dewi Kartikasari”, dan segumpal tanah. Tanah itu masih basah. Laci berikutnya kosong. Tak ada nama. Hanya selembar kertas kosong. Tapi ketika Reksa menyentuhnya, suara bergema di lorong.
“Kau belum mati. Tapi kau juga tak sepenuhnya hidup. Di antara ini… namamu mengambang.”
Reksa menatap Angga. “Ini tentangku.”