Rumah-rumah penduduk seperti menyusut dalam ketakutan, lampu-lampu padam lebih awal dari biasanya, dan angin malam membawa aroma besi yang menyengat—campuran tanah basah dan sesuatu yang lebih tua, lebih purba.
Reksa duduk bersila di ruang tengah rumah Pak Haji Soma. Di hadapannya, terbentang buku tua dengan sampul kulit kecokelatan, terkelupas di bagian pinggir, dan benang pengikatnya nyaris putus. Pak Haji Soma meletakkan lampu minyak lebih dekat, menyinari halaman-halaman buku itu dengan goresan tangan yang mencurigakan: rapih tapi tergesa-gesa, seperti ditulis dalam kepanikan.
“Setiap nama yang tercatat di sini... pernah hampir hilang,” kata Pak Haji Soma dengan suara parau.
Reksa membalik halaman demi halaman. Beberapa nama ia kenali—nama warga desa yang kini tak lagi berani bicara, beberapa lainnya hanya tinggal sebagai bisikan dalam doa malam. Namun ada satu halaman yang membuat tangan Reksa bergetar.
"REKSA."
Ia menatap tulisan itu. Bukan hanya karena namanya ada di sana, tapi karena goresan tinta merah yang menetes dari huruf R ke bawah, membentuk noda tak beraturan seperti darah yang menitik.
“Apa maksudnya ini, Pak?” tanya Reksa.
Pak Haji Soma diam lama, napasnya berat. “Itulah yang tak pernah bisa saya jelaskan, bahkan pada diri saya sendiri. Nama kamu muncul di buku ini… tiga tahun sebelum kamu lahir."
Reksa terdiam. Angga yang sedari tadi duduk di sudut ruangan pun akhirnya mendekat, menatap lembaran itu.
“Apa mungkin… itu nama orang lain?” tanya Angga, meski tahu jawabannya sudah tergantung di udara.
“Tidak,” kata Pak Haji Soma. “Di sebelah namamu, ada tanggal. Dan... potongan cerita.”
Reksa membaca:
"Reksa—nama yang dipanggil tiga kali dalam satu malam oleh suara-suara yang tak bernama. Anak laki-laki yang lahir tanpa bayangan di hari bulan membelah awan. Mata kirinya menyimpan masa lalu. Masa depan bergantung pada keberaniannya untuk menghapus namanya sendiri."
Tenggorokan Reksa tercekat. Ia menyentuh pelipisnya, lalu meraba mata kirinya—sebuah kebiasaan lama yang sering ia lakukan tanpa sadar setiap kali cemas. Masa lalu? Bayangan?
“Pak, saya lahir di Bandung. Bukan di Babakan Lame.”
“Begitu kata orang tuamu,” sahut Pak Haji Soma pelan. “Tapi sudah sejak lama, beberapa anak hilang dari desa ini... dan kemudian muncul di luar, seolah hidup baru dimulai dari sana.”
Reksa memalingkan wajah. Kepalanya berdenyut.
“Ada satu lagi,” kata Pak Haji Soma. Ia membuka lipatan kecil di bagian belakang buku. Di sana terdapat lembaran tambahan, sedikit lebih modern dari yang lain. Di atasnya tertulis: