Langkah Reksa terhenti di tengah lorong sunyi rumah tua bekas gudang pengeringan cengkeh di ujung kampung Babakan Lame. Malam telah jatuh begitu pekat, seolah cahaya takut menginjakkan kaki ke tempat itu. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang ia tempa sendiri bersama Pak Haji Soma dua malam lalu—bilah besi tua yang dicelup dalam ramuan mantra penghapus nama. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir keraguan yang melayang seperti kabut. Angga menunggu di luar, menjaga jalur keluar jika semuanya gagal. Reksa melangkah masuk ke ruang dalam—ruangan yang pernah dijadikan altar persembahan dalam ritual Ririwa pertama pada zaman dulu. Dindingnya masih dipenuhi bekas darah yang sudah menghitam dan simbol-simbol yang telah dilukis ulang berkali-kali oleh mereka yang mencoba mengunci sesuatu di dalam. Di tengah ruangan itu, berdiri sosok yang menyerupai dirinya. Ririwa. Sosok itu menoleh. Senyumnya tak serupa manusia—terlalu lebar, terlalu lambat. Mata yang tak pernah berkedip memancarkan kenangan buruk, seolah menyimpan semua kesalahan Reksa dari masa lalu.
“Jangan mendekat,” desis Reksa.
Namun sosok itu tak berhenti. Reksa meraih tali suci yang dikalungkan di lehernya. Ia membisikkan mantra dari Pak Haji Soma—mantra yang katanya bisa mengunci napas dari makhluk tak bernama. Tapi begitu mantra itu selesai diucapkan, Ririwa pertama justru tertawa. Tertawa panjang dan parau, membuat bulu kuduk Reksa menegang.
“Mantra itu tidak untukku,” ucapnya.
Reksa menusuk—cepat dan tajam. Pisau itu menembus dada makhluk itu. Tapi darah tidak keluar. Tidak ada jeritan. Hanya suara “klik” seperti potongan kayu yang patah. Lalu tubuh itu terjatuh. Reksa mundur dua langkah. Tapi saat ia mengira semuanya telah selesai, tubuh itu mulai menggeliat. Bukan seperti bangkit, melainkan meregang, membelah, dan dari baliknya keluar satu lagi tubuh dengan wajah yang sama. Wajahnya. Tapi kali ini dengan luka yang sama seperti waktu ia jatuh dari sepeda di umur tujuh. Luka itu... tidak mungkin diketahui siapapun.
“Berapa dari aku yang masih tersisa?” suara itu berbisik.
Reksa menjerit, tak kuat menahan kenyataan bahwa sosok yang berdiri di depannya bukan hanya meniru, tapi tahu. Tahu lebih dari dirinya sendiri.