Reksa bangun dalam diam. Sejak malam tadi, setelah kemunculan anak Gaung, tak satu pun dari mereka berani bersuara. Bahkan Angga, yang biasanya keras kepala dan cepat panik, kini memilih menulis jika ingin menyampaikan sesuatu. Bukan karena takut. Tapi karena tak bisa. Lidah mereka…Tak bergerak. Reksa mencoba bicara ketika membuka mata subuh tadi. Tapi tenggorokannya seperti disegel dari dalam. Tak ada rasa sakit, tak ada luka, hanya kekosongan. Ia memandang ke arah Angga yang duduk bersandar di dinding, menulis cepat di sebuah buku kecil. Reksa mencondongkan tubuh membaca:
“Bukan kita saja. Seluruh warga. Mereka tak bisa bicara. Pak Haji Soma juga. Ini lebih buruk dari ritual kedua.”
Reksa mengambil buku itu, menulis di bawahnya:
“Ririwa telah menyerap suara kita. Dan menjadikannya miliknya.”
Mereka saling bertatapan. Kesimpulan itu seperti benang yang makin ditarik makin menyayat. Semalam, anak gaung muncul membawa suara-suara orang mati. Kini, pagi ini, semua suara orang hidup… lenyap. Di luar rumah, desa seperti kuburan terbuka. Anak-anak berjalan tanpa tawa. Orang-orang tua bergerak perlahan, menggandeng cucu tanpa ucapan. Para ibu memasak dengan tangan gemetar. Tak ada suara piring. Tak ada panggilan. Tak ada sapaan. Tak ada keluhan. Tak ada doa. Dan yang lebih mengerikan, tak ada satu pun yang menjerit saat menyadari mereka bisu. Mereka hanya menunduk, dan menangis tanpa suara.
Pak Haji Soma duduk di bale bambu depan rumahnya. Matanya sembab. Di pangkuannya, ada buku catatan yang terbuka pada halaman kosong. Reksa dan Angga mendatanginya. Pak Haji menunjuk ke satu nama yang kini dilingkari tiga kali:
REKSA, lagi.
Reksa menahan napas. Pak Haji membuka halaman berikutnya. Ada potongan kalimat yang ditulis tergesa malam sebelumnya:
“Satu nama… yang sejak kecil telah memanggil dirinya sendiri.”
Angga membaca cepat, lalu menoleh ke Reksa. Tiba-tiba wajahnya memucat. Ia menulis:
“Bapak... pernah bicara sendiri waktu kecil, ‘kan?”