RIRIWA

Topan We
Chapter #26

Perjanjian Ki Rangga

Malam ketiga sejak suara menghilang. Langit desa Babakan Lame tak pernah setenang ini. Tapi bukan karena damai, melainkan karena ketakutan sudah menutup semua celah untuk berharap. Tak ada suara jangkrik. Tak ada desir angin. Bahkan detak jam pun terasa seperti dosa.

Reksa, Angga, dan Pak Haji Soma duduk di dalam ruangan kecil di belakang surau tua—ruangan yang selama ini tertutup, terkunci oleh paku yang diukir lafaz-lafaz usang. Haji Soma baru saja membukanya menggunakan pisau warisan ayahnya.

Di dalam, tak ada apa-apa kecuali satu peti kayu pendek, penuh ukiran gelombang dan simbol seperti huruf namun tampak dicakar. Di bagian depannya tertera:

"Darah pertama adalah janji yang terakhir"

Pak Haji Soma menggeleng waktu Reksa menatapnya penuh tanya. Ia lalu mengeluarkan secarik kertas tua dari balik kitab warisan yang dibawanya. Angga membacanya keras-keras dalam hati, lalu menuliskannya agar mereka semua bisa membaca bersama:

“Babakan Lame dibangun atas perjanjian tujuh keturunan. Satu nama dibuang, satu nyawa ditukar, satu suara disegel. Itulah syarat agar kampung ini tetap terasa sunyi dari kegelapan, atau tepatnya dari marabahaya.”

Reksa menahan napas. Pak Haji Soma mengangguk pelan. Ia menunjuk peti itu, lalu membuka perlahan. Di dalamnya, ada selembar kain putih yang dililitkan pada tulang—tulang kecil, seperti milik anak-anak. Di bawahnya, ada sebotol kecil cairan hitam yang tak lagi kental. Dan secarik kulit kayu dengan goresan darah kering yang membentuk semacam tanda tangan.

Reksa membaca tulisan yang terukir samar di samping botol itu, sebuah mantra. Mantra kedigdayaan :

“Sakudung besi wulung. Sakongkoyang berusi bodas. Cis ngicis beusi parasani. Ya isun prabu Tujamalela.”

“Jadi... ini semua karena perjanjian?” tanya Angga lirih, meski suaranya tak keluar. Ia menuliskan lagi di kertas yang mereka oper-oper:

“Siapa yang membuat perjanjian ini?”

Pak Haji Soma mengambil sebuah buku tua dari kantong bajunya. Isinya penuh dengan catatan sejarah lisan, sebagian sudah luntur. Namun satu nama muncul berkali-kali: "Ki Rangga Jaya."

Tokoh pendiri Babakan Lame. Leluhur pertama. Reksa mengernyit.

“Dia melakukan perjanjian ini demi apa?” tulisnya.

Pak Haji menjawab di halaman kosong:

“Dulu, Babakan Lame adalah tempat hukuman dan tempat persembunyian. Para pelanggar adat dari desa-desa sekitar dikirim ke mari. Selain itu banyak pendatang dari tempat lain membawa banyak kayu Lame untuk membuat rumah. Mereka kabur dari kejaran para penjajah. Ki Rangga Jaya yang menerima mereka. Ia lelah melihat darah, lalu menawarkan satu janji: ‘Aku akan kunci kemarahan, penderitaan, dan dendam kalian ke dalam satu suara. Tapi kalian semua tak boleh menyebut nama asal kalian lagi. Tak boleh ada yang bicara masa lalu. Tak boleh ada anak yang lahir tanpa darah perjanjian.’”

“Ia simpan suara-suara mereka dalam satu roh penjaga. Roh itulah yang kini kita kenal sebagai... Ririwa.”

Lihat selengkapnya