Lantai surau itu dingin. Udara malam menetes dari langit-langit seperti embun kematian. Reksa berdiri di depan cermin tua yang dipasang di salah satu sisi ruangan belakang. Cermin itu berdebu, retak di sudutnya, tapi tetap menampilkan bayangan. Hanya saja, bayangan itu... bukan dia.
Bayangan itu menatapnya dengan cara yang terlalu tenang. Matanya tak berkedip. Mulutnya tidak mengikuti gerakan bibir Reksa. Bahkan napasnya tidak naik turun.
"Kau bukan aku," bisik Reksa. Bayangan itu tersenyum.
Lalu berkata, dengan suara yang sepenuhnya milik Reksa, "Atau jangan-jangan... kau yang bukan aku?"
Seketika pintu belakang surau terbuka dengan keras. Angga berlari masuk sambil menunjukkan potongan kertas. Di sana tertulis:
"Pak Haji Soma hilang. Di Umbung Nama hanya tersisa darah dan namanya."
Reksa merasakan jantungnya berdetak cepat. Ia menoleh ke arah cermin—dan bayangan itu sudah tidak ada. Namun ketika ia melangkah mundur, seseorang muncul dari balik tiang kayu surau. Wajahnya sama. Persis. Dia... adalah Reksa.
"Sudah saatnya salah satu dari kita mati," ujar si Reksa lain dengan suara dingin. "Kita tak bisa hidup berdampingan. Dunia ini milik yang asli."
Reksa melangkah maju. "Aku tidak akan membiarkanmu mengambil hidupku."
Pertarungan pun dimulai. Tubuh mereka saling menghantam. Sama-sama tahu celah dan kelemahan masing-masing. Pukulan, tendangan, cengkeraman—semuanya saling meniru, seperti dua bayangan yang memantul dari sisi berbeda kaca. Tapi ada satu hal yang membedakan: mata.