Pagi di Babakan Lame dibungkus kabut yang lebih tebal dari biasanya. Langit buram seperti enggan membuka hari. Suara burung pun tak terdengar. Reksa bangun lebih awal, tidur malamnya terpotong-potong oleh mimpi aneh: seorang tua tanpa wajah menatapnya dari balik tirai hujan. Entah kenapa, mimpi itu menyisakan rasa dingin di tengkuknya.
Ia berjalan cepat ke rumah Pak Haji Soma setelah semalam terakhir bertemu dengannya dalam keadaan sehat meskipun terlihat cemas. Di tangannya, Reksa membawa buku tua milik Pak Haji Soma—buku yang mengungkapkan nama-nama terlarang dan kisah masa lalu tentang dirinya.
Namun, setibanya di rumah kecil yang berlumut itu, suasana terasa salah. Pintu rumah terbuka sedikit. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Reksa mendorong pintu perlahan.
“Pak Haji?” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Ia melangkah masuk. Ruangan terasa dingin, seolah semua hawa hangat disedot keluar. Sebuah lemari terbuka seperti habis digeledah. Segelas kopi yang tak sempat disentuh sudah mendingin, kopi seduhan semalam di meja kayu kecil. Tapi tak ada Pak Haji Soma. Hingga Reksa dan Angga masuk ke kamar belakang. Ia berhenti. Menahan napas. Di sana, Pak Haji Soma tergeletak miring di atas sajadah. Matanya terbuka, kosong, menatap langit-langit. Tangannya menggenggam tasbih yang putus, berserakan di lantai. Yang paling mengerikan adalah mulutnya. Lidahnya hilang. Semalam saat Reksa bertempur dengan Ririwa, Angga mencari Haji Soma, namun ia tak menemukannya.
Panik dan bingung, Reksa dan Angga menutup pintu dan tidak membiarkan siapapun masuk dulu. Mereka tahu ini bukan hanya pembunuhan biasa. Di dinding, dengan darah yang mulai mengering, ada tulisan dalam huruf Arab yang hanya bisa dibaca Angga.
“Apalagi yang akan terjadi kepadaku, Pak,” kata Angga. “Mengapa sekarang Ririwa itu terus menyerang kita?"
“Juga Haji Soma yang saat ini terbunuh... dibungkam karena ia terlalu banyak tahu tentang Ririwa?”
Angga mengangguk. Wajahnya pucat. “Dan... ini belum selesai.”
Mereka membawa tubuh Pak Haji ke balai desa secara diam-diam sebelum warga mencium sesuatu yang tidak beres. Namun, berita tetap menyebar dengan cepat. Desa mulai diliputi ketakutan baru. Banyak yang mengira kematian itu bukan karena kutukan, melainkan pertanda bahwa tidak ada lagi tempat aman.