RIRIWA

Topan We
Chapter #29

Malam Berdarah

Hujan turun tanpa jeda sejak sore tadi, menghapus jejak langkah siapa pun yang melintasi jalan tanah Babakan Lame. Di tengah malam yang dingin dan sunyi, ada suara-suara aneh bergema dari balik pepohonan, seperti derap kaki banyak orang… tapi tanpa irama. Tanpa arah. Tanpa tujuan selain satu: mencari mereka yang pernah menyebut satu nama terlarang—Ririwa.

Reksa berdiri di depan jendela penginapan, tubuhnya kaku. Wajahnya pucat, dan matanya terus tertuju pada langit yang menggelap semakin pekat. Angga duduk di belakangnya, memeluk tubuhnya sendiri. Setelah peristiwa Pak Haji Soma ditemukan tanpa lidah, desa ini bukan lagi tempat yang layak dihuni. Tapi mereka belum bisa pergi. Sebelum semuanya selesai.

"Bapak dengar itu?" tanya Angga dengan suara nyaris tak terdengar.

Reksa mengangguk. "Itu bukan petir. Itu… suara....."

Suara yang mereka maksud terdengar seperti pekikan panjang. Namun bukan satu orang. Lebih dari itu. Ratusan. Seperti jeritan yang tumpang tindih, berlapis-lapis, mengirim getaran ngeri dari bawah tanah hingga ke ujung rambut.

Tiba-tiba, pintu penginapan diketuk. Sekali. Dua kali. Lalu berhenti. Angga menahan napas. Reksa mendekat, mengintip dari lubang pintu. Tak ada siapa pun.

Namun saat dia membuka pintu perlahan, tubuh seorang perempuan—ibu pemilik penginapan—terjatuh dalam posisi tertekuk. Wajahnya pucat, matanya membelalak, dan dari mulutnya mengalir darah segar. Di lehernya, ada tiga garis panjang seperti cakaran. Angga menjerit pelan.

Reksa langsung mengunci pintu kembali. Tapi terlambat.

Dari jendela belakang, sosok-sosok bermunculan. Wajah-wajah yang familiar—tetangga, anak-anak kecil, bahkan Pak RW—semuanya datang, tapi dengan mata kosong, kulit pucat, dan darah yang menetes dari sudut bibir. Dan di antara mereka, berjalan perlahan, sosok mungil dengan rambut tergerai panjang menutupi wajah. Ririwa.

Lihat selengkapnya