Kesunyian adalah syarat pertama.
Begitulah pesan yang ditinggalkan Pak Haji Soma di dalam kitab lusuhnya sebelum ia meninggal secara mengenaskan. Di antara halaman-halaman yang masih bisa diselamatkan dari bercak darah dan sobekan kasar, tertulis satu bab dengan huruf tangan gemetar: "Pemakaman hanya bisa dilakukan dalam diam. Sebab suara adalah nyawa bagi Ririwa."
Reksa menatap api unggun yang sudah disusun warga di lapangan tengah Babakan Lame. Tidak ada satu suara pun terdengar sejak matahari terbenam. Tidak sapaan. Tidak batuk. Bahkan anak-anak yang biasanya gaduh, malam ini menutup mulut dengan kain basah. Mereka sudah tahu, malam ini bukan malam biasa.
Angga berdiri di samping Reksa, wajahnya pucat dan matanya tak lepas dari gundukan tanah tempat tubuh Ririwa dikurung. Sejak pengungkapan bahwa Ririwa adalah kakek keempat Reksa, semua orang menahan napas dalam duka dan ketakutan. Ia bukan hanya legenda. Ia darah daging.
Tulang belulang yang mereka percaya itu milik Jaya Abdinegara telah diamankan ke dalam peti kayu yang diikat dengan tali mantra dan kain kafan. Tidak ada satu pun warga yang berani mengucap namanya. Mereka hanya menunjuk peti itu, memberi isyarat, seolah menyebutnya saja bisa membuat roh Ririwa bangkit kembali.
Sesuai syarat yang diwariskan: pembakaran harus dilakukan dalam keheningan total, tanpa satu pun kata. Ritual ini disebut "Kesunyian Ketiga." Kesunyian pertama adalah saat nama pertama kali dihapus. Kedua adalah saat nama mereka yang telah pergi tidak lagi dikenang. Dan ketiga: saat tubuhnya kembali ke tanah, diiringi sunyi yang mutlak.
Reksa memegang obor dengan kedua tangan, lalu menoleh ke arah Angga. Mereka saling menatap, memberi isyarat terakhir. Sekali lagi, tanpa suara. Malam ini bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang penghabisan. Jika gagal, Ririwa akan bangkit kembali, kali ini tanpa bisa dibendung.
Ia berjalan mendekati peti itu. Suara kayu di bawah kakinya terasa seperti dentum di telinganya sendiri, meski tidak satu pun dari warga bergeming. Bahkan jangkrik pun malam ini tak berani bersuara.