Risalah Hati

Poetry D. Maria
Chapter #4

Memalukan!

"Make-up ku hari ini gimana? Bagus, nggak?" Nurin mengulum senyum manis di depan benda pipih yang ia sandarkan di tembok meja rias.

Seseorang di dalam handphone tersebut juga mengulum senyum. "Cantik," balasnya. Laki-laki itu mengangkat jempol tangannya, memperlihatkan pada wanita di seberang sana bahwa penampilannya sudah oke.

"Sempurna banget, Rin. Ngomong-ngomong, kamu mau kemana sih? Kok tumben dandan."

Masih dengan senyuman manisnya, Nurin dengan percaya diri menjawab. "Mau dinner sama orang tuanya Adit."

Bobi membelalakkan matanya tak percaya. Ia tak menyangka bahwa Nurin akan senekat itu bertemu dengan orang tua Adit. Padahal beberapa waktu yang lalu, Nurin menangis ketika ditelpon oleh Bobi, sahabatnya itu, katanya dia takut menikah karena teringat dengan masa lalunya yang kelam.

Nurin yang menyadari ekspresi Bobi, sahabatnya yang mendadak berubah itu langsung terkekeh kecil. "Biasa aja sih komuknya, nggak usah kebingungan gitu deh."

Bobi hanya menggeleng dan ikut terkekeh. "Iya nih, sedikit kaget. Bukannya beberapa waktu lalu, kamu bilang nggak mau nikah karena nggak mau kayak orang tua kamu dulu ya?" Timpal Bobi.

Nurin berdecak. Kali ini ekspresinya berubah menjadi kecut. Memang setelah melihat kedua orang tuanya berbahagia dengan pasangan masing-masing, Nurin merasa dibuang. Jadi anak yang terbuang itu membuatnya merasa dendam dan trauma dengan yang namanya pernikahan.

"Memang siapa yang mau nikah? Aku nggak bilang aku mau nikah. Aku tuh cuma bilang, Kalau malam ini aku bakalan dinner sama orang tuanya Adit."

Bobi menggeleng kecil. "Kalau nggak berniat menikah, kenapa sampai sejauh ini, Rin?"

Nurin hanya bergeming. Sejenak kesunyian menyelimuti mereka. Sampai suara bel di kamar Nurin terdengar berbunyi. Memecah keheningan di antara sepasang sahabat yang sedang beradu dengan argumen masing-masing.

"Itu pasti Adit", batin Nurin.

"Apapun keputusan kamu malam ini, pokoknya good luck ya, Rin. Aku cuma bisa ngingetin aja, kalau semua hal pasti ada resikonya." Bobi kembali bersuara.

"Apaan sih, Bob? Kok jadi serius gini pembahasaannya. Eh, tapi nggak apa-apa deh, makasih ya, udah didoakan. Udahan dulu ya, udah waktunya nih."

Tanpa menunggu persetujuan Bobi, Nurin langsung saja memutus sambungan telepon dengannya dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu tatkala suara bel itu berdenting untuk kedua kalinya.

"Hai," sapanya pada sosok yang menyembul dari balik pintu ketika Nurin membukanya.

Sosok di hadapannya ini bukannya membalas sapaan Nurin, malah dia terdiam menatap Nurin dengan tatapan yang sulit digambarkan.

Siapa lagi kalau bukan Adit? Kekasih yang sedari tadi ditunggu oleh Nurin. Sejak semalam, Nurin susah tidur karena menantikan moment ini. Bahagia dan cemas beradu bersamaan menyelimuti perasaan wanita itu. Ia sangat gugup, bahkan ketika di kamar mandi tadi pun ia sangat lama berendam di air hangat bathup, untuk mengurangi rasa cemasnya.

Namun sesaat setelah menelepon Bobi, Nurin bisa merasa lebih tenang. Tidak segugup tadi ketika di kamar mandi. Bobi selalu punya sihir yang membuat anxiety Nurin perlahan membaik. Mungkin memang begitu gunanya sahabat, selalu bisa meredakan segala perasaan.

Adit masih mematung, dengan tatapan terpaku pada Nurin. Sementara lama-kelamaan Nurin merasa salah tingkah. Baru kali ini ia diperhatikan oleh orang dengan sebegitunya. Ia malah merasa aneh jika dipandang seperti itu.

Lihat selengkapnya