Dua hari selepas makan malam bersama orang tua Adit malam itu, Nurin kesulitan untuk menghubungi Adit. Laki-laki itu bagai hilang ditelan bumi. Meninggalkan Nurin yang merasa terluntang lantung di negeri orang.
Hampir satu minggu Nurin di Banyuwangi, dan waktu cutinya hampir habis. Ia harus segera kembali ke Solo, tetapi Adit, laki-laki itu seperti sama sekali tidak peduli.
Setiap malam hatinya tak tenang, tidurnya pun gelisah. Ia mulai tak nyaman dengan segala pikiran dan perasaannya. Malam itu juga ketika ia tengah terjaga, ia memesan satu tiket kereta untuk pulang ke Solo. Rasanya ia tak sanggup lagi untuk menetap lebih lama lagi di kota orang.
"Pengecut kamu, Dit!"
Tangisnya luruh, menghiasi ruangan kamar yang sunyi itu. Ia mengambil handphone-nya dan mulai menghubungi Bobi. Di saat seperti ini, memang hanya Bobi yang bisa menolongnya.
Ia memegangi dadanya yang bergetar hebat. Sampai ia mulai merasakan sesak. Sementara Bobi tidak kunjung mengangkat teleponnya. Semakin sesak-lah yang ia rasakan.
Nurin mulai kesulitan bernapas. Tangannya meraba-raba di atas nakas mencari sesuatu tetapi tak kunjung ditemukannya benda yang sedang ia cari. Ia mulai terduduk lemas, napasnya terasa semakin tersengal.
"Dit, kalau aku mati di tempat ini, tolong bawa pulang jasadku ke Solo. Aku ingin damai di kota itu."
Hanya pesan itu yang mampu ia sampaikan pada Adit untuk kali terakhir dengan seluruh sisa tenaganya. Ia sudah pasrah. Apapun yang akan menimpanya, sudah pasti itu adalah takdir Tuhan yang terbaik.
***
Adit tak pernah se-galau ini ketika hendak mengambil keputusan. Ucapan Ibunya ketika pulang dari makan malam dua hari yang lalu itu ada benarnya.
Menjalin hubungan dari seseorang yang broken home adalah tantangan besar. Adit harus bisa menyembuhkan luka masa lalu pasangannya. Membangun keluarga yang cemara, sementara pasangannya sedari dulu patah. Sedangkan ia belum siap untuk itu. Yang ia siapkan hanyalah bahagianya saja.
Maka sekarang Adit sedang bertanya-tanya, apakah benar dia sudah siap menikah? Sebab ketika menikah nanti kita tak hanya siap dengan bahagianya saja, tetapi juga harus siap dengan segala rintangan yang mengguncang rumah tangganya.
"Semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, Dit. Ibu cuma pengen kamu bahagia. Ibu bisa melihat kalau kamu dan Nurin saling cinta, tapi Ibu tidak melihat kamu ada masa depan sama dia. Nurin itu track record keluarganya buruk, Dit. Orang tuanya pernah bercerai karena skandal perselingkuhan. Apa kamu yakin, kalau Nurin tidak akan melakukan skandal yang sama nantinya?" Ucap Ibunya malam itu–selepas pulang dari makan malam.
Siang malam Adit memikirkan ucapan Ibunya tersebut. Menikah adalah sekali seumur hidup. Maka jangan sampai salah pasangan. Adit mulai bimbang. Sebab ia pernah dibuat cemburu oleh sahabat Nurin yang bernama Bobi. Kini ia mulai curiga – apa benar kalau mereka hanya sebatas sahabat?
Namun bagaimana cara mengakhiri hubungan dengan Nurin? Ia harus mencari bukti terlebih dahulu kalau Nurin memang benar-benar selingkuh dengan Bobi. Itulah sebabnya selama dua hari ini Adit menjauh dari Nurin untuk sementara. Agar ia dapat meyakinkan diri bahwa seluruh dugaannya itu benar.
Malangnya, Nurin hanya punya Adit. Gadis malang yang dibuang itu selalu membayangkan akan membangun kehidupan hangat bersama Adit. Membangun rumah impian mereka bersama-sama.
Bagi Adit, orang tuanya adalah segalanya, mengingat bahwa ia terlahir sebagai si bungsu yang mana kedua kakak perempuannya sudah membangun kehidupannya masing-masing di luar kota. Maka dari itu, Adit harus memastikan bahwa nantinya istrinya bisa diajak tinggal di Banyuwangi seatap dengan orang tuanya.
Matanya terbelalak sempurna tatkala membaca pesan yang dikirimkan oleh Nurin beberapa menit yang lalu. Buru-buru ia menelepon pihak hotel untuk memastikan pengunjung di kamar dua ratus empat masih baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian ia mendapatkan telepon dari pihak hotel yang mengabarkan bahwa kekasihnya itu sudah tak sadarkan diri dan telah dibawa ke rumah sakit. Cepat-cepat Adit meloncat dari duduknya di sofa dan bersiap menyusul Nurin.
Ibunya yang melihat Adit begitu terburu-buru ingin keluar, langsung mencekal tangan Adit yang tengah bersiap memakai sepatu di ambang pintu.
"Mau kemana lagi, kamu? Hari ini kamu berjanji mau antatkan Ibu checkup-up loh."
Adit menatap sejenak mata Ibunya yang teduh. Menyiratkan sebuah harapan akan janji yang telah dibuatnya kemarin malam. Dan sialnya, Adit lupa akan janji itu setelah mendapat kabar dari Nurin.