“Eh, Ibu-Ibu! Tuh liatin si Saimah mau ke mari. Pasti pada diborong dagangan Yu Tun ama dia.”
“Perasaan dia ndak pernah kerja, suaminya pun sama-sama nguli kayak suamiku. Kadang rame kadang sepi. Heran, ya! Hampir tiap bulan beli perhiasan. Uang dari mana coba?”
“Jangan suudzon Ibu-ibu. Bisa jadi Mbak Saimah habis dapat warisan dari orang tuanya,” jawab Yu Tun untuk meredam ghibah para ibu-ibu pelanggan sayur di gerobaknya.
Ia tak ingin sayur dagangannya jadi korban gara-gara ada
pelanggan bertengkar sampai aksi jambak-jambakan karena ghibah. Saimah semakin mendekat ke arah gerobak Yu Tun dengan ditingkahi bisik-bisik usil ibu-ibu yang memang ahli menggosip.
“Sst ...! Dia udah dekat. Liat dompetnya tebel dan kalungnyaudah ganti lagi.”
“Iya, lo. Kakinya sekarang dikasih gelang juga. Makin kaya dia.”
“Ssst! Udah Ibu-ibu! Bukan urusan kita, uang dia sendiri buat beli,” ucap Yu Tun berusaha meredakan sifat sok tahu para pelanggannya.
Saimah akhirnya sudah di dekat dengan ibu-ibu yang lain. Ia tersenyum dan menyapa Yu Tun dan juga yang lain. Wanita berkulit bersih ini mulai memilah-milah sayur dan ikan di atas gerobak.
“Mau masak apa, Im? Tumben beli bumbu lengkap?” tanya Bu Sobir yang kebetulan tetangga sebelah rumah Saimah.
Kebetulan pula suami mereka adalah sesama tukang bangunan di sebuah proyek yang sama. Namun, sekitar setahun terakhir ini kehidupan keluarga Saimah telah melejit mengalahkan keluarga Bu Sobir.
Oleh sebab itu wanita berperawakan gemuk ini sedikit banyak menaruh rasa iri. Secara memang, suami mereka sama hal soal jumlah gaji dan juga tak ada usaha sampingan.
“Eh, Bu Sobir. Ini, Mas Parman ingin dimasakin rendang," jawab Saimah yang membawa bumbu rendang di tangan kanannya.
"Wah, perasaan gajian masih seminggu lagi. Kamu sudah bisa beli daging? Kita-kita aja pada ngirit bener, beli tempe dan kerupuk biarbisa sampe gajian," cerocos Bu Sobir.
Saimah hanya menanggapinya dengan senyum lalu wanita berdaster bunga-bunga ini segera membayar semua total barang belanjaan dan segera berlalu meninggalkan ibu-ibu tukang ghibah.
"Eh, jangan-jangan, si Saimah dan suaminya itu ngepet. Masa tiap hari makan enak mulu. Banyak duit mereka. Parman itu diajakin suamiku, mana mungkin gajinya lebih gede?”
Bu Sobir memulai gosip lagi dan langsung dibumbui ibu-ibu yang lain. Sedangkan Yu Tun hanya mampu menggeleng dan segera berpamitan akan keliling ke gang lain.
“Ibu-ibu maaf, saya lanjut keliling dulu. Permisi!”
Yu Tun berpamitan yang ditanggapi senyuman oleh para ibu kang ghibah. Mereka lebih asik menggosip daripada berbelanja.
“Loh, Yu Tuun! Wah udah jauh dia. Belanjaanku belum lengkap, udah main pergi aja.”
“Makanya kalo mau ngobrol tenang, lengkapi dulu belanjaan, Bu,” sahut Bu Sobir yang sudah bersiap memberi sekilas info gosip lagi.
"Bener, bisa jadi si Parman itu mencuri bahan materialbdi proyek. Nggak mungkin, kan, hasil dari kerja. Masa gaji suami aku yang lebih gede hanya mampu beli daging sebulan sekali. Ini cincin aja mas kawin dulu, gelang pun dapat dari arisan dua tahun lalu, gak ganti-ganti, " ucap Bu Sobir semakin bersemangat.