“Mas, ini kunci mobilnya. Aku izin pulang dulu, kebetulan ada kenalan mengajak barengan," ucap Saimah kepada Sarto.
“Kenalan pria?” tanya Sarto dengan tatapan tak percaya.
“Wanita Mas. Pelaku ritual juga. Udah selesai dan akan pulang. Aku harus buru-buru pulang, takut suamiku sudah sampe rumah. Maaf, Mas.”
“Iya, gak papa. Makasih, ya. Entar siang, aku hubungi.”
“Baik, Mas.”
Saimah pun melangkah pergi diiringi tatapan pria pelanggan. Wanita berkulit bersih ini terpaksa berpura-pura menuruni anak tangga untuk mengelabui pria barusan. Ia harus menunggu dulu sampai sang pria melaksanakan ritual persembahan dulu. Oleh karena Saimah tak kunjung datang calon pelanggan baru mencarinya ke bawah kembali.
“Mbak! Ngapain di situ?” tanya seorang pria berkepala plontos.
“Maaf, barusan liat teman. Saya kehilangan jejak, Pak," jawab Saimah kepada pria tersebut yang merupakan pelanggan baru.
Akhirnya, mereka menapaki anak tangga menuju atas kembali. Saimah merasa bersyukur sang pria pelanggan telah khusyuk melakukan persembahan bersama kuncen. Wanita ini bersama pria berkepala plontos langsung menuju sendang untuk memulai ritual awal permohonan pada Sang Ratu.
Beruntung bagi mereka malam tersebut tak banyak yang ngalap berkah. Mereka dengan pasangan lain yang sama-sama bukan pasangan tak sah mandi bareng-bareng di sendang. Setelah sebelumnya mengganti pakaian mereka dengan kain putih yang dibebat ke tubuh. Kain ini telah disediakan oleh kuncen dengan menukar sejumlah uang bagi pelaku ritual.
Kini Saimah dengan pria berkepala plontos berendam dalam dinginnya air sendang sambil mengucapkan japa mantra permohonan. Dengan berbisik, Saimah menyebutkan sejumlah harga yang harus dibayar oleh pria berkepala plontos padanya. Sang pria pun segera mengangguk.
Ritual mandi telah selesai dilaksanakan, berdua keluar dari air dengan menggigil. Saimah dan pria plontos siap melakukan ritual utama, yaitu melakukan hubungan intim. Mereka mencari pohon untuk tempat khusus ritual tersebut yang banyak tumbuh di sekitar sendang.
Di bawah pohon yang tumbuh tak jauh dari sendang mereka melakukan ritual utama. Hanya beberapa menit saja, ritual tersebut selesai dilakukan. Kini mereka sembari membebat tubuh dengan kain kembali, duduk menunggu tanda dari Sang Ratu.
Dalam remang-remang cahaya obor yang ditempatkan mengelilingi sendang, sebuah benda mirip daun jati bersinar merah jatuh tepat di pangkuan pria berkepala plontos.
“Wah, kita berjodoh, Cantik. Lain waktu panggil saja, Pak Brahim. Namamu?”
“Saimah, Pak.”
“Ayo kita pulang! Keburu siang, bisa mengulang lagi.”
“Mari, Pak.”
Mereka berjalan ke arah penitipan barang sambil menyerahkan daun hasil ritual. Anak buah kuncen segera memberikan barang-barang meraka lalu mencatat nama keduanya. Mereka segera menuju tempat ganti pakaian. Beberapa menit, mereka pun keluar dan langsung ke tempat penitipan barang kembali.
Mulai saat ini, Saimah mempunyai kewajiban menjadi pasangan Pak Brahim hingga ritual terakhir seperti yang ia lakukan dengan pelanggan sebelumnya. Anak buah kuncen memberi sebuah catatan ritual dan keperluan yang harus disediakan untuk menyelesaikannya. Pak Brahim membayar harga dua kain dan catatan ritual kepada anak buah kuncen.
Setelahnya, mereka berjalan menuju arah tangga melewati pepohonan yang masih tersisa pasangan-pasangan yang sedang melakukan ritual maupun sudah selesai dan masih menunggu daun kode jatuh.
“Beruntung bagiku, mendapat pasangan cantik dan daun segera turun. Rumahmu jauh dari sini?”
“Ya, lumayan. Ada sejam dari sini, Pak.”
“Sama dong. Jangan-jangan kita sekota.”
“Bisa jadi, Pak.”
“Enak nih! Kalo kita sekota, gampang bikin janji,” ucap Pak Brahim sambil merangkul bahu Saimah lalu sambil berbisik, “Selain ritual boleh dong kita bermesraan?”
Saimah seketika melepas rangkulan Pak Brahim lalu menoleh ke arah pria tersebut.
“Pak, udah ada dipersyaratan dan itu tak boleh dilanggar. Kalo tak ingin gagal.”
“Oh ya? Emang mereka tau?”
“Bukan mereka yang mengawasi kita, tapi pengawal gaib Sang Ratu.”
“Wah, gak bisa kita tipu.”
“Gak mungkin. Mereka bangsa gaib.”
“Kirain ... bisa di luar itu.”
“Bapak gak punya istri?”
“Punya, tapi ....”
“Maaf, Pak!”
“Kok, maaf? Emang tau kenapa?” tanya Pak Brahim sambil tertawa.
“Enggak tau.”
“Istrinya tak mau kuajak kembali jika aku masih banyak utang.”
“Emang istrinya ke mana?”
“Pulang ke rumah orang tua.”
“Bapak, sudah punya anak?”
“Ada satu. Anak angkat, yang kami asuh dari bayi dan sekarang ikut istriku.”
“Udah gede, Pak.”
“SD kelas 6.”
“Maaf, emang gak bisa punya anak sendiri?”
“Kami angkat anak, buat pancingan.”
Perjalanan mereka pun sampai di tempat parkir. Pak Brahim membukakan pintu untuk Saimah lalu baru dirinya naik. Tak disangka saat mobil akan meninggalkan tempat parkir dihadang oleh pelanggan Saimah yang baru saja selesai melaksanakan persembahan. Saimah segera menunduk sambil berpesan kepada pria berkepala plontos.