“LAKI-LAKI MISKIN! Saya menyesal menikah dengan kau! Melarat!” Kata Susi, lantas meraih gelas kaca dari atas meja makan dan membantingnya di lantai, persis di ujung jari kaki Ron. Dan Ron yang duduk di kursi langsung mengangkat kakinya, gelas kaca itu pecah berkeping-pasir di lantai, mujur tak ada pecahan yang melukai kaki Ron.
Ron bisu melihat istrinya kesetanan, ia sudah membisu sejak Susi mengajaknya ke dapur untuk membicarakan prahara uang keluarga; gerakannya pun sedikit sekali, kecuali menghindari gelas yang pecah di dekat kakinya, Ron hampir-hampir tak bergerak sejak duduk di kursi kayu itu, ia pun tak sekali menatap istrinya sejak mereka ada di dapur dan Susi membentak-bentakinya.
“Melarat! Kau tahu? Melarat! Hah? Saya menyesal! Kau tahu? Saya menyesal! Laki-laki tak berguna!” Kata Susi, lalu berjalan mondar-mandir di belakang kursi Ron. “Laki-laki miskin!”
Isi kepalanya banyak, tapi Ron tetap bisu. Bukan sekali-dua Susi menghardiknya bak bocah atau budak, barangkali sudah puluhan kali Susi membinatanginya; hinaan, umpatan, dan segala macam kata yang haram diucapkan istri kepada suami sudah Susi ucapkan kepada Ron. Namun, Ron selalu irit bicara dan legowo saja ketika kata-kata berbisa Susi masuk ke dalam telinganya, lagi pula kadang Ron merasa apa yang dikatakan istrinya tak sepenuhnya salah.
Ron sudah membenci Susi, tapi ia terlalu mencintai ketiga anaknya untuk menceraikan istrinya lantas memisahkan anak-anaknya dari ibu atau ayah mereka. Ron menahan siksaan batin semata-mata karena Melani, Olivia, dan Gio.
“Bulan depan Livia harus masuk SD. Bulan depan! Dan kau tidak punya uang bahkan untuk membeli satu batang pensil!”
“Saya berusaha, Livia akan masuk SD pada waktunya, saya janji.” Ron akhirnya buka mulut, meski kata-katanya lirih dan tampangnya malu-malu.