RON MEMBUKA PINTU warung jahitnya, menyalakan lampu, lalu beranjak duduk di kursi meja jahitnya. Sejak keluar dari rumah neraka itu, pikiran Ron berlaksa cabang, tentang Livia yang akan masuk SD, tentang ayahnya, tentang warung jahit kecil yang merupakan satu-satunya warisan almarhum ayahnya, tentang apa yang akan dimakan ketiga anaknya minggu depan, serta laksa hal lain yang sudah berseliweran dan masih antri menunggu giliran untuk membuat pikirannya sengsara. Di antara laksa pokok pikirannya, tak ada satu tempat pun untuk Susi, hati dan pikirannya sudah tawar untuk istrinya, ia tak mencintai istrinya, sama sekali tak ada setitik rasa, bahkan untuk membencinya. Berbulan-bulan dimaki, dihina, dan diperlakukan bak benda tanpa hati membuat Ron pasrah pada kenyataan hidupnya yang beristri seorang wanita bermulut bisa.
Sekian puluh menit lewat, Ron mulai lelah menerka masa depan, ia lantas mengusap wajahnya beberapa kali dengan kedua telapak tangan kemudian menengadah ke langit-langit ruangan. Sekian detik matanya terpaku pada plafon yang telah lapuk dimakan tahun, warna triplek-triplek itu nyaris seluruhnya sudah berwarna coklat, padahal dulu ia mewarnai mereka dengan cat putih. Warna coklat itu jejak rembesan air dari atap warung yang tak terhitung lagi jumlah lubangnya. Bulan lalu, ia mendatangi toko bangunan dan menanyakan harga seng baru untuk atapnya, tapi saat ia mendengar harga yang diucapkan pemilik toko, rasa-rasanya ia mendengar harga sebuah mobil. Semelarat itu prahara uang dalam hidup Ron, Rp100 ribu akan terdengar di telinganya bak harga mobil baru. Apa yang sering Susi katakan benar adanya, dia memang menikahi pria miskin, dan wajar bila Susi menyesal.
Ron bukan pria miskin ketika ia menikahi Susi sepuluh tahun lalu, ia memang bukan pria kaya raya, tapi kurang tepat jika menyebut Ron adalah pria miskin. Sebelum bertemu Susi, Ron bekerja sebagai tangan kanan juragan proyek aspal di luar kota, dan itu bukan pekerjaan pria miskin. Dan lagi, dari penghasilannya Ron bisa membangun rumah untuk kedua orang tuanya yang seumur hidup tinggal di rumah kontrakan. Dan rumah orang tuanya itu yang kemudian Ron tempati bersama Susi, Melani, Livia, dan Gio lepas kematian ayah-ibunya.