Ritual Sugih Ni Putri Anjani

E. N. Mahera
Chapter #3

Bagian 03

GELEGAR KNALPOT MOTOR pengendara jahanam membangunkan Ron yang semalaman tidur di dekat kaki meja jahit berbantalkan gulungan kain bahan seragam PNS. Begitu matanya terbuka, Ron tetap terbaring menghadap ventilasi bernoda coklat di atasnya, pikirannya kosong. Baru setelah gelegar knalpot pengendara jahanam yang kedua lewat di depan warung jahitnya, pikiran Ron akhirnya menemui kenyataan, ia sadar, pagi ini ia tidur di warung lagi, warung jahit warisan ayahnya, warung jahit yang membuatnya berhenti bekerja di luar kota demi menyenangkan hati ayahnya. 

Warung jahit itu didirikan ayahnya sesaat setelah menikah. Walaupun sang ayah sudah menjahit sejak belia, tapi beliau baru berani membuka warung jahitnya sendiri setelah belasan tahun duduk di depan meja jahit. Pada masa rintis, warung jahit itu hanya berdinding papan, berlantai tanah, dan berdiri di atas sepetak tanah. Tahun demi tahun lewat, ukuran warung jahit itu akhirnya melebar, berdinding tembok, dan akhirnya punya cukup banyak pelanggan setia. Para pelanggan setia itulah yang bisa menyarjanakan Ron sehingga ia punya pekerjaan mapan di luar kota sebagai tangan kanan juragan proyek aspal di luar kota. Dan pekerjaan Ron lebih dari cukup untuk membiayai kedua orang tuanya.

Namun, saat anak semata wayangnya sudah sudah mampu membiayai hari tuanya, ayahnya Ron tetap setia datang ke warung jahit kecilnya untuk menjahit pakaian para pelanggan. Saat ibunya meninggal dan kesehatan ayahnya mulai menurun, Ron pernah menyuruh ayahnya untuk berhenti menjahit, tapi ayahnya menjawab, “Biarkan ayah tetap bekerja. Ini bukan soal uang, ayah bahagia saat menjahit. Ayah kesepian saat diam di rumah.” 

Saat itu Ron memaklumi keputusan ayahnya, baru saat kesehatan ayahnya di titik nadir dan hampir-hampir tak bisa berjalan tapi terus memaksakan diri datang ke warung jahit kecilnya, Ron memutuskan berhenti bekerja di luar kota untuk menemani sekaligus merawat ayahnya. Seketika, di luar rencana hidupnya, Ron pun menjadi penjahit seperti ayahnya. Menjadi penjahit bukan hal yang sulit untuk Ron sebab sejak bocah ia sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil di warung ayahnya seperti mengecilkan celana, dan sebagainya.  

Ron berani berhenti dari pekerjaannya karena penghasilan warung jahit mereka lebih dari cukup untuk menghidupi Ron dan ayahnya, apalagi mereka kadang mendapat pesanan besar dari sekolah atau kantor untuk menjahit seragam. Lebih-lebih, Ron tak perlu bekerja keras dan bisa fokus mengurus kesehatan ayahnya lantaran warung jahit mereka masih memiliki dua penjahit lain untuk membantu pekerjaan di warung, kalaupun mereka mendapat beberapa pesanan besar sekaligus, ayahnya punya beberapa kenalan penjahit yang dibayar harian untuk membantu di warung. 

Pada masa awal Ron berhenti dari pekerjaannya, meski kesehatan ayahnya terus menurun, segalanya berjalan nyaris sempurna, dalam arti tak ada prahara uang dalam hidup Ron. Satu ihwal yang mungkin mengganggu kehidupan nyaris sempurnanya bersama sang ayah adalah ayahnya terus-terusan meminta Ron untuk menikah. Pada bulan-bulan awal permintaan itu terucap, Ron selalu bisa menjawab permintaan ayahnya dengan macam-macam alasan. Namun, pada suatu percakapan di meja makan, hati Ron terketuk untuk segera mencari istri. Kata ayahnya: “Kau anak semata wayang ayah. Usiamu sudah 34 tahun dan kau masih bujangan, Roni. Apakah tak ada gadis yang berniat kau nikahi?” 

Ron menjawab, “Saya belum memikirkan itu, Ayah. Sekarang perhatian saya sepenuhnya untuk kesehatan Ayah dan warung jahit kita. Lagipula usia 34 tahun untuk seorang lelaki itu masih tergolong muda, masih banyak sisa tahun dalam hidup saya untuk menikah.” 

“Ya, usiamu memang masih banyak. Tetapi usia ayah sedikit lagi. Apakah tak ada niatmu untuk memberi cucu pada ayah?” 

Percakapan itu yang membuat Ron seketika meminta keluarga, kawan, dan kenalan untuk mencarikan calon istri untuknya.  

Dan dalam sebulan saja, seorang kawan SMA mengenalkan Ron kepada seorang gadis berusia 19 tahun. Pada pertemuan pertama Ron dan gadis itu, tak ada kesan berlebihan di hati Ron, secara fisik gadis itu lumayan, dalam arti tak jelek-jelek amat untuk digandeng ke kondangan, tak juga wah untuk dipamerkan ke kawan-kawan. Mungkin satu yang bisa dibanggakan ke kawan-kawan adalah gadis itu masih belasan tahun, 19 tahun, lebih muda 15 tahun dari Ron yang sudah merayakan ulang tahun ke-34. 

“Nama saya Roni. Panggil saja Ron,” kata Ron kepada gadis berusia 19 tahun itu pada jumpa pertama mereka.

“Nama saya Susi, Bang Ron.” 

“Tak perlu pakai ‘Bang’, ‘Ron’ saja cukup.” 

Lihat selengkapnya