DI WARTEG MILIK Sudaryono yang sudah ia kawani akrab, seperti biasa Ron memesan nasi setengah porsi, taoge, dan kuah opor yang disiram di atas nasi. Seperti biasa, meski makanannya berharga kurang dari Rp10 ribu Ron terpaksa harus berhutang kepada Sudaryono, dan Sudaryono sebagai pemilik warteg maklum saja. Dan seperti biasa lagi, saat piringnya ada di atas meja, untuk sekian detik Ron memandangi piring itu sambil menanyakan tiga pertanyaan kepada dirinya sendiri dalam hati, “Apakah saya berdosa makan sendirian di sini sementara piring di meja makan anak-anak saya kosong? Akan makan apa anak-anak saya siang dan malam ini? Apa yang harus saya lakukan supaya anak-anak saya tidak hidup sebagai anak orang miskin?” Saban kali ia duduk di warteg Sudaryono, tiga pertanyaan itu selalu ia tanyakan kepada dirinya sendiri.
Ron sangat mencintai ketiga anaknya, dia akan melakukan apa saja untuk mereka, karena itu di warteg ia kadang marah kepada dirinya sendiri, mengapa ia begitu keras hati menjual warung jahit warisan ayahnya. Ini membikin Ron bingung sendiri, seolah-olah ia harus memilih antara sang ayah dan ketiga anaknya. Tak itu saja, kadang ini juga memunculkan pokok pikiran baru, barangkali alasan ia enggan menjual warung jahit itu karena Ron menikmati makian-makian Susi, dalam arti ia ingin terus menyiksa Susi dalam kemiskinan, ia sebenarnya tak ambil pusing dengan warung jahit warisan itu. Dan ujungnya, Ron sadar dengan sendirinya, orang yang mengkhawatirkan uang memang selalu punya banyak pokok pikiran yang bertentang-tentangan di dalam kepalanya.
“Lagi-lagi, orang gila yang ingin mati tapi mengajak satu keluarga.”
Rok tersentak, ia mengangkat kepala dari piring dan menatap Sudaryono yang ia duga sedang bicara kepadanya. Sesudah celingak-celinguk mencari orang lain di dalam warteg dan tidak menemukan siapa-siapa selain ia dan Sudaryono, Ron berkata, “Kenapa?”
“Orang gila!” Kata Sudaryono, “Ingin mati tapi mengajak satu keluarga.”