RON MASUK KE dalam kamar dengan menenteng empat bungkus tas plastik hitam berisi empat puluh tusuk sate dan empat porsi nasi. Di dalam kamar itu Susi dan Gio sedang lelap tertidur, dan tanpa sungkan Ron menyentuh lengan istrinya lantas mengguncang-guncangkannya. Saat itu, lagi-lagi untuk pertama kalinya sejak lama Ron masuk ke kamarnya tanpa mengkhawatirkan makian Susi. Isi pikiran Ron sederhana, begitu Susi bangun ia akan segera menunjukkan tas plastik di tangannya dan bilang bahwa ia membawa sate untuk makan malam mereka. Itu harus Ron lakukan agar Susi tak segera memakinya.
Rencana Ron berhasil, begitu Susi bangun dan Ron menunjukkan tas plastik itu, Susi berkata, “Kau dapat uang dari mana?” Dengan suara serak khas orang yang baru bangun.
“Kawan saya yang membelikannya, ia sedang duduk di teras. Ajak anak-anak untuk makan! Dan tolong, perlakukan kawan saya dengan baik, ia adalah juragan dari Kalimantan.”
Tanpa menjawab suaminya, Susi langsung membangunkan Gio yang tidur di sampingnya lantas pergi ke kamar Melani dan Livia untuk mengajak mereka makan sate, sementara Ron kembali ke teras untuk menemui Raznan.
Ron dan Raznan mengobrol lagi untuk sebentar, sebentar saja, karena baru beberapa menit mereka dua duduk di teras, muncul Susi dari dalam rumah dan menyapa Raznan dengan amat sopan, suara dan intonasi Susi ketika bicara kepada Raznan kedengarannya bak malaikat bicara, seakan-akan Raznan adalah tuan raja dan Susi abdinya. Ron terkejut bukan main melihat gelagat istrinya, tapi setelah memperhatikan istrinya selama beberapa saat ia tahu alasan istrinya bersikap tak biasa kepada Raznan. Pertama, Raznan sudah membelikan makanan, kedua, mata Susi beberapa kali melirik Avanza hitam yang terpakir di depan rumah mereka. Pendek kata, Susi silau dengan Raznan si orang kaya.
Sekian lama memperhatikan sikap malaikat Susi yang menyebut Raznan ‘Bang Raznan’, entah kenapa dada Ron rasa-rasanya menyempit dan ia kesusahan bernapas, membikin ia menarik dan membuang napas berat beberapa kali. Ron bertanya-tanya dalam kebingungan, apakah ia cemburu atau marah? Tidak, ia tak mungkin cemburu. Kenapa pula ia harus cemburu pada Susi, istri yang tak dicintainya. Kemudian ia sadar, mungkin ia sedang marah pada Susi yang kelihatan bak ular saat menampilkan sikap malaikatnya, kelihatan munafik, bersikap baik hanya kepada orang kaya, silau harta.
Sedang Ron menerka sebab kelakuan ajaib istrinya, suara dari dalam rumah membuyarkan khayalannya, “Apa! Apa! Papa!” Mendengar suara Gio, Ron berkata kepada Raznan, “Nan, saya ke dalam dulu.”
Raznan menangguk. Ron menuju ke dalam rumah. Raznan dan Susi tetap mengobrol di teras.
Di dapur, Gio hanya mengadu kepada Ron bahwa Livia merebut satu tusuk sate darinya. Ron menegur anak keduanya itu dengan lembut dan membuat Livia berjanji untuk tak mengganggu adiknya lagi. Livia berjanji dan dua anaknya itu lanjut makan.
Ron diam sejenak memperhatikan tiga anaknya di meja makan, Melani yang sedang menyuapi mulutnya dengan sendok berisi nasi serta Livia dan Gio yang sedang melepaskan daging dari tusuk sate dengan gigi. Banyak yang Ron andaikan, pengandaian bahagia, ia bahagia melihat ketiga anaknya makan dengan bahagia. Beberapa detik mengandaikan kebahagiaan, sebuah memori mengilat masuk ke dalam pikirannya, berita pembunuhan dua anak oleh ibunya yang Ron saksikan di warteg Sudaryono, dan seketika rencana untuk membunuh Susi terputar lagi dalam pikiran. Kebahagiaan dan kedamaian yang ia cita-citakan di dalam rumah akan ia rasakan setiap hari jika Susi enyah dari bumi. Melihat anak-anaknya makan dengan senyuman adalah nirwana.
“Papa, siapa di teras?” Kata Melani, membuyarkan lamunan Ron.
“Om Raznan.”
“Siapa itu?” Kata Livia.
“Kawan papa.”
Tak ada jawaban lagi dari ketiga anaknya yang kembali sibuk dengan makanan mereka.
“Papa harus ke teras, nanti kalau sudah selesai makan, bawa dua adikmu ke teras!” Kata Ron—lembut—kepada Melani, anak tertuanya.