DI KAMAR ANAK-anaknya, Ron menggelar tikar di lantai, berbaring, dan menutup matanya. Namun, Ron tak begitu saja jatuh ke alam mimpi, di dalam kepalanya menggema ucapan Susi sehabis persetubuhan mereka tadi. Ron dua hati, satu sisi, ia keberatan Raznan memberi uang kepada istrinya; sisi lain, ia memaklumi Raznan, barangkali setelah Raznan melihat keadaan rumah dan anak-anaknya, Raznan dapat menerka kemiskinan Ron lantas iba dan berniat menolong, tindakan itu wajar mengingat Raznan berulang kali bilang bahwa mereka bersahabat sejak bayi jadi tiga anak Ron adalah keponakan Raznan. Bukan masalah ketika Raznan memberi uang sekolah untuk para keponakannya. Bisa dibilang Ron mengagumi kemuliaan hati Raznan sekaligus membenci perbuatan sahabatnya itu.
Lebih dari semua itu, di ujung-ujung sadarnya sebelum benar-benar jatuh dalam mimpi, Ron mengucap dalam hatinya, “Akhirnya, setelah sekian lama menderita, hari ini adalah hari bahagia saya. Saya bisa berjumpa lagi dengan Raznan dan merasakan lagi hawa nirwana di rumah sendiri ketika melihat Melani, Livia, dan Gio makan sate sampai kenyang.”
Seterusnya, sampai Ron terlelap pengandaian tentang kematian istrinya tak sedetik pun menghantui pikirannya. Malah, dalam tidurnya Ron memimpikan kematian anak-anaknya.
Mimpi buruk itu seolah-olah mengulang apa yang Ron alami sepanjang hari, bermula ketika ia makan di warteg Sudaryono sambil menyaksikan berita seorang ibu yang meracuni dua anaknya lantas bunuh diri, diikuti reuni Ron dan Raznan di warung jahit, kemudian mereka berkendara dengan Avanza hitam,mampir di warung sate untuk makan, dan seperti yang ia alami di kenyataan, Raznan membelikan empat puluh tusuk sate untuk Susi, Melani, Livia, dan Gio.
Yang tak Ron alami di alam nyata tapi muncul di alam mimpinya adalah ketika ia dan Raznan tiba di rumah, begitu pintu rumah dibuka, tampak Melani dan Livia dengan kaki-tangan terikat, mulut tersumbat kain, sedang duduk berdampingan di lantai ruang tengah. Sementara itu, Susi berdiri di belakang dua anaknya sedang memegang pisau penuh darah merah kental. Sangat jelas Ron dapat menangkap isyarat dari sorot mata Melani dan Livia yang menjadi tahanan ibu mereka, bahwa dua bocah itu sudah pasrah untuk pulang ke surga.
Detik ketika Ron menangkap isyarat itu dan ingin membebaskan kedua putrinya, Ron merasa detik itu juga ia tiba-tiba dipeluk raksasa, sekujur tubuhnya kaku, menggerakkan kelingking pun mustahil rasanya. Ron coba berontak, tapi semakin ia berusaha bergerak, badannya semakin keras, semakin kaku, mematung bak patung batu. Ron coba berteriak, tapi semakin ia berusaha membuka mulutnya, semakin mulutnya serasa dipaku agar saling tempel rapat. Ron berusaha melangkahkan kaki kanannya, tapi semakin ia sekuat tenaga coba berjalan maju mendekati kedua anaknya untuk membebaskan mereka, rasa-rasanya dua kakinya pun dipaku ke lantai oleh entah apa. Semakin Ron berusaha melakukan sesuatu, ia merasa tenaganya mencapai habis, dan persis saat Ron terengah-engah kelelahan, mulut Susi mulai melebar, dia tersenyum.
Awalnya, tampak di mata Ron senyuman Susi adalah senyum yang biasa ia lihat, tapi lama-kelamaan senyum itu terus melebar sampai kulit pipi Susi robek. Robekan itu terus sampai ujung senyumannya mendekati telinga dan tak kunjung putus sampai kepala Susi terbelah menjadi dua karena tersenyum; kepala bagian atas Susi yang adalah bibir atas, hidung, mata, dahi, dan rambut, seketika lepas jatuh ke lantai. Ron coba berteriak lagi ketika melihat kepala istrinya tersisa satu bibir, bibir bagian bawah, tapi lagi-lagi, semakin ia berusaha mengeluarkan suara, bibirnya merapat semakin erat, rasa-rasanya ia baru saja menelan ratusan kerikil sehingga tenggorokannya tersumbat.