KEADAANNYA SEPERTI SEMINGGU terakhir, tak ada pelanggan di warung jahit. Sejak pagi pekerjaan Ron hanya duduk di depan meja jahit tua, menghadap keluar menatap apa saja yang tampak di balik jendela kaca, seringnya adalah kendaraan-kendaraan yang tak putus lewat di depan warung. Mendekati makan siang, tepatnya ketika jarum jam dinding di atas pintu menyentuh pukul 11.55, mobil Avanza hitam berhenti dan parkir di depan warung jahit.
Seketika Ron bangkit dan langsung menuju pintu, menjemput kawannya di pintu. Seperti sehari sebelumnya, usai berpelukan di ambang pintu, Ron dan Raznan duduk berhadapan ditengahi meja jahit tua warisan ayah Ron. Dan setelah basa-basi kira-kira lima menit, Ron kemudian bilang ganjalan hatinya, “Nan, kau tak perlu memberi uang kepada istri saya.”
Raznan tersenyum. “Sudah saya katakan. Saya melakukan itu bukan untuk kau, Ron. Melani, Livia, dan Gio itu keponakan saya.”
Ron diam sebentar. Air mukanya jelas menggambarkan keberatan hati. “Apakah Susi bercerita soal Livia?”
“Maksudmu?”
Ron diam lagi, ia ragu sejenak. “Susi bilang kalau uang yang kau berikan itu gunanya untuk Livia masuk sekolah. Saya tahu, saya memang kesulitan mencari uang untuk biaya Livia masuk SD, tapi saya tak ingin merepotkanmu, Nan. Saya tak enak hati, kau sudah banyak membantu saya, Nan.”
“Apa?” Wajah Raznan berubah asam. “Saya tak mengerti maksudmu, Kawan. Saya tak bilang uang itu untuk biaya Livia masuk SD. Saya bilang ke Susi, ‘untuk keperluan sekolah keponakan-keponakan saya,' bukan untuk biaya Livia masuk SD saja.”
Giliran wajah Ron yang mengasam. Ia coba mengingat lagi kata-kata Susi semalam, dan ia salah, Susi bilang, “Untuk keperluan sekolah keponakan-keponakannya,” Susi tak bilang uang itu untuk Livia seorang. Ron menggeleng saat menyadari kekeliruannya.
“Ron, kau sedang sulit uang?” Kata Raznan tiba-tiba.
Ron bungkam, ia bingung, ia ingin tak ingin bercerita kepada Raznan tentang prahara uang dalam rumah tangganya.
“Bilang saja jika kau perlu uang untuk anak-anakmu, Ron. Bukannya saya lancang, tetapi kebetulan sekarang saya sedang ada sedikit uang lebih. Lagi pula saya tak punya anak atau keluarga untuk dibiayai. Dan tolong jangan tersinggung, Ron. Saya tak berniat buruk, seperti yang ulang-ulang kali saya bilang, Melani, Livia, dan Gio itu keponakan saya, Ron. Tolong jangan tersinggung, Kawan. Kau sudah saya anggap saudara kandung saya.”
Ron tetap bungkam, ia sama sekali tidak tersinggung oleh tawaran bantuan Raznan, ia hanya kelebihan malu untuk memulai cerita prahara uang dalam rumah tangganya.
“Ron, kau tak tersinggung, bukan?”
Ucapan Raznan seketika membuyarkan lamunan Ron. “Tidak, Kawan.”
“Jika demikian, mengapa wajahmu seperti itu?”
Ron tersenyum, sadar, barangkali wajahnya tampak terlalu asam di mata Raznan. “Semalam saya mimpi buruk,” kata Ron mengalihkan pembicaraan, dan seterusnya ia bercerita soal mimpi buruknya kepada Raznan, cerita yang lengkap dan rinci, termasuk pemenggalan kepala dua putrinya serta Raznan yang bergulat dengan Susi untuk merebut pisau.
“Saya tak tahu harus bilang apa, Kawan, mimpimu mengerikan,” kata Raznan usai Ron bercerita panjang lebar tentang mimpinya.
“Apa mimpi saya itu ada maksudnya, Nan?”
“Sulit untuk tahu, Ron, mimpimu itu bisa banyak artinya. Atau mungkin saja cuma bunga tidur biasa.”
“Ya, mungkin cuma bunga tidur. Atau mungkin, karena Susi sering menekan saya soal keadaan ekonomi kami, maka tekanan pikiran itu ikut ke dalam mimpi,” kata Ron begitu saja, tanpa sadar ia sudah membuka kisi-kisi prahara uang dalam keluarganya kepada sahabatnya.
“Tekanan ekonomi apa?” Mata Raznan membelalak mendengar ucapan Ron. “Saya mohon, tolong ceritakan, Ron! Jika kau enggan menceritakannya, saya merasa kau tak percaya pada saya dan kau tak lagi menganggap saya sebagai sahabat.”
Ron menatap Raznan, tajam, seolah tatapannya itu runcing menusuk bola mata Raznan, dan di balik dua bola mata itu Ron menemukan ketulusan yang sudah lama tak ia lihat pada wajah manusia dewasa lain. Seketika itu juga Ron merasa bersalah karena menyembunyikan prahara uang dalam rumah tangganya dari Raznan. Karena itu, Ron mulai bercerita, lagi-lagi secara lengkap dan rinci tentang prahara uang dalam rumah tangganya.
Sehari sebelumnya Ron sudah menceritakan kisah hidupnya kepada Raznan, termasuk soal seret pendapatan warung jahitnya, tetapi ia belum menyinggung soal prahara uang, kebiadaban Susi sebagai istri, dan beban pikirannya soal biaya sekolah anak-anaknya. Sehari sebelumnya Ron tak ingin memunculkan rasa iba di hati Raznan lewat ceritanya, tapi siang itu Ron tak sungkan lagi bercerita soal semua beban pikirannya, bahkan soal pembunuhan Susi yang ia rencanakan saat bersetubuh. Ron mengakhiri ceritanya dengan bilang kepada Raznan, “Saya menyesal sudah berniat membunuh ibu dari anak-anak saya.”
“Kawan, saya turut prihatin.” Cuma itu yang Raznan katakan kepada Ron setelah sahabatnya bercerita tentang kepahitan hidupnya. Dua sahabat itu bisu setelahnya, gelegar kendaraan yang lalu-lalang di luar warung jahit mencipta berisik pada gendang telinga mereka, siang yang terik di luar membuat dua orang itu bermandi keringat di atas wajah masing-masing, Raznan sampai harus mengelap wajahnya berkali-kali agar kering, dan saat itu Ron menerka bahwa sahabatnya itu mungkin merasa sedang mendidih dan ingin segera keluar dari warung jahitnya. Ron benar, sesaat setelah menerka, Raznan berkata, “Panas sekali di sini. Ayo kita cari makan!”
Ron diam, ia langsung mengkhawatirkan isi perut tiga anaknya di rumah.
“Setelah makan, kita mampir ke rumahmu dulu, saya ingin membawakan makanan untuk ketiga keponakan saya,” kata Raznan, seolah bisa menerka isi kepala dan sebab Ron diam saat diajak makan siang. “Setelah itu kau temani saya berkeliling kota. Kau bisa? Saya ingin bernostalgia masa kecil kita. Temani saya ke sekolah-sekolah kita zaman dulu.” Raznan lalu bangkit dari kursi dan berjalan ke arah pintu tanpa menunggu jawaban Ron. Namun, di ambang pintu, Raznan balik badan. Melihat Ron masih duduk, ia menggeleng, “Ron, ada pesanan jahit yang harus kau kerjakan secepatnya?”
“Tidak.”
“Kenapa kau masih duduk?”
Ron tak menjawab.
“Ayolah! Saya tak selamanya ada di kota ini. Temani saya jalan-jalan. Hari ini saja.” Intonasi suara Raznan mengesankan permohonan.
Ron bangkit dan menyusul sahabatnya.
x—x
Lantaran sudah jam dua siang, Raznan memutuskan untuk membungkus makanan dari warung dan menyantapnya di rumah Ron bersama ketiga keponakannya. Ron setuju. Namun, ketika sampai di rumah Ron mendapati pintu rumahnya tertutup rapat. Aneh. Karena itu Ron buru-buru membuka kunci pintu dan masuk ke dalam rumah, menyisir ruang tengah, tiap kamar sampai dapur, tapi tak ia temukan seorang pun.