Ritual Sugih Ni Putri Anjani

E. N. Mahera
Chapter #9

Bagian 09

“APA MASIH JAUH, Nan?” Kata Ron menatap Raznan ketika roda Avanza hitam yang Raznan kendarai mulai menapaki aspal berlubang.

Perhatian Raznan terus terpaku pada jalan. “Sekitar 20 menit lagi.” 

“Nan, ini pertama kalinya kau ke sini, apa kau tahu letak rumah kuncen yang akan membimbing ritual saya?” 

“Katanya jalan ini satu-satunya akses ke desa terakhir di kaki Gunung Putri Anjani. Nanti kita tanya saja tempat tinggal kuncen itu kepada penduduk desa.”

Ron mengangguk.

Saat Avanza hitam melintas di atas sebuah jembatan, Ron yang duduk di di kursi penumpang samping sopir, mengelukan kepala lewat jendela dan membuang pandangnya jauh ke kiri arah maju mobil, tampak di sana sebuah gunung yang kelihatannya lebih pendek dari Gunung Putri Anjani di depan mereka. “Nan, apa nama gunung itu?” Kata Ron. 

“Gunung Tara.” 

Lagi-lagi Ron mengangguk lalu menatap puncak Gunung Tara di kejauhan sana. Puncak Putri Anjani yang ada di depan mereka sudah tak terlihat lagi karena tertutupi pohonan di sekitar jalan, tapi hanya dengan membayangkan puncak Gunung Putri Anjani yang ia lihat sebelumnya ketika mobil mereka masih jauh dari kaki gunung itu, Ron bisa menakar bahwa Gunung Putri Anjani pasti lebih tinggi dari Gunung Tara. 

“Tara adalah anak dari Putri Anjani,” kata Raznan tiba-tiba. 

Ron melepas tatapannya dari puncak Gunung Tara lantas duduk seperti sebelumnya, menghadap ke arah maju mobil. “Kau tahu legenda gunung-gunung ini?” 

“Ya.” 

“Saya yang seumur hidup tinggal di dekat dua gunung ini saja tak tahu legenda dua gunung ini, kau tahu dari mana?” 

“Dulu saya pernah membaca cerita singkat legenda Gunung Putri Anjani dan Gunung Tara di buku pelajaran sekolah, kemudian saya juga diceritakan secara rinci oleh kuncen di tempat ritual saya.” 

“Bagaimana cerita legenda dua gunung ini?”

Raznan mulai berkisah.

 

x—x

 

Alkisah, ratusan tahun lalu berdiri sebuah kesultanan bernama Kesultanan Tarakani. Semua Sultan yang memimpin Kesultanan Tarakani wajib memakai nama Tarakani. Selain itu, Putra Mahkota yang digadang-gadang akan menggantikan Sultan wajib diberi nama Tarakani saat lahir, pun apabila Sang Putra Mahkota mati sebelum naik takhta, saudara kandung atau lelaki lain yang naik takhta harus mengganti namanya menjadi Tarakani. Pendek kata, semua calon pemimpin Kesultanan Tarakani wajib bernama Tarakani. 

Pada suatu zaman, ketika Kesultanan Tarakani dipimpin oleh Sultan Tarakani IV, selama bertahun-tahun kesultanan itu direcoki oleh sebuah prahara, yakni Sang Sultan dan Permaisurinya tak kunjung memiliki buah hati. Prahara ini membikin para pembesar dan rakyat murba bertanya-tanya siapakah pemimpin mereka lepas Sultan Tarakani IV minggat dari bumi. Kabar angin berseliweran saat itu, hanya dua mungkin, entah Sang Sultan yang mandul, entah Permaisurinya yang menderita kutukan lahir itu. 

Tahun demi tahun lewat, pada akhirnya, setelah mendapat ribuan bisikan dari para penjilat, Sultan Tarakani IV percaya bahwa istrinya-lah yang mandul. Karena itu, Sultan Tarakani IV pun meracuni istrinya dan menaikkan derajat salah satu selirnya sebagai Permaisuri. Cerita tambahan: selama bertahun-tahun itu pun, tak satu pun selir, gundik, atau gula-gula Tarakani IV yang mengandung karena setelah mereka disetubuhi Sang Sultan, para selir itu harus minum ramuan penolak janin. Hukum Kesultanan Tarakani menitahkan bahwa hanya Permaisuri saja yang boleh mengandung anak Sultan.

Malangnya, setelah Permaisuri pertama mati, Permaisuri baru pun tak kunjung mengandung. Karena itu, Sang Sultan sekali lagi membunuh Permaisurinya dan menaikkan derajat selir yang lain. Dan hal yang sama terjadi lagi. Seterusnya sang Sultan melakukan pembunuhan dan pergantian Permaisuri sebanyak enam kali baru Permaisuri yang bernama Ni Rewi akhirnya hamil, dan lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Putri Anjani.

Walaupun sejak awal Sultan Tarakani IV tahu bahwa Putri Anjani hampir mustahil menjadi penerusnya karena tradisi Kesultanan Tarakani mewajibkan kesultanan agar dipimpin oleh laki-laki, Tarakani IV tak menyerah, rasa cintanya pada Putri Anjani membuat Sang Sultan berencana menabrak tradisi jika Permaisurinya tak melahirkan anak laki-laki. Dan memang, setelah itu Ni Rewi tak pernah hamil lagi. Anjani adalah satu-satunya anak Sang Sultan dan Ni Rewi.  

Tatkala Putri Anjani sudah menyandang gelar gadis perawan—buah dadanya mulai menggunung—dan tampak bahwa Ni Rewi sulit untuk mengandung lagi, Sultan Tarakani IV menyiarkan titah bahwa Putri Anjani adalah satu-satunya manusia yang berhak duduk di Singgasana Sultan ketika dirinya wafat.

Lihat selengkapnya