“DI TENGAH RASA putus asa usai mengubur Tara anak semata wayangnya, Putri Anjani mulai berjalan ke selatan untuk mati. Dalam perjalanannya, dia berniat untuk puasa makan dan minum sampai tubuhnya tak mampu lagi berdiri dan mati di situ. Singkat cerita, tempat di mana Putri Anjani menguburkan Tara pada akhirnya terus membesar dan menjadi gunung yang kita kenal sebagai Gunung Tara. Dan tempat di mana Putri Anjani tergeletak dan tak mampu lagi berdiri sampai mengembuskan napas terakhirnya, pun membesar karena dendam kesumat yang ada di hatinya, sekarang tempat itu orang sebut, Gunung Putri Anjani.” Itu kata-kata penutup Raznan setelah panjang lebar menceritakan legenda Gunung Putri Anjani sambil menyetir kepada Ron.
“Saya takjub. Kau mengingat dengan rinci cerita Putri Anjani, dan kau menceritakannya dengan amat baik. Kau berbakat menjadi pendongeng, Nan.”
Raznan tertawa. “Sepertinya kita sudah sampai. Lihat! Itu gapura desa,” kata Raznan menunjuk ke depan, tersisa satu tangannya yang memegang kemudi.
Sesudah Avanza hitam itu melewati gapura desa yang bertuliskan ‘SELAMAT DATANG DI DESA DERETAN’, tampak di mata dua orang itu seorang pria paruh baya yang rambutnya sekepala berwarna putih sedang duduk di kursi kayu teras rumahnya. Raznan lalu menurunkan kaca jendela mobilnya, “Permisi, Pak. Boleh tahu di mana rumah kuncen gunung?”
Pria berambut putih itu segera berdiri dari kursinya dan mendekati mobil Raznan. “Jauh, Pak. Ayo saya antar!” Kata pria paruh baya itu ketika berdiri tepat di samping mobil.
“Eh, tidak—.”
“Ayo!” Pria itu memotong ucapan Raznan. “Tak merepotkan. Ayo saya antar! Mobil tidak bisa sampai ke sana. Mobil Bapak parkir saja di sini.”
Mau tak mau Raznan dan Ron menerima kebaikan hati pria rambut putih yang kemudian mengaku bernama Mariji.
Setelah mobil Raznan terparkir di samping rumah Mariji, tiga orang itu lalu berjalan ke tengah kampung, melewati jalan kecil di samping sebuah rumah papan, dan terus melewati jalan itu menuju hutan. Sepanjang perjalanan Mariji banyak bicara, ia bercerita bahwa sudah banyak orang dari kota yang datang ke kampung mereka untuk menemui kuncen gunung dan ia sendirilah yang mengantar mereka sampai ke rumah sang kuncen. Menurut Mariji, orang-orang yang datang itu berasal dari ragam latar belakang, jenis kelamin, usia, dan status ekonomi, bahkan para pejabat pun sering berkunjung.
“Kapan saat yang paling ramai?” Kata Raznan.
“Sebelum pemilu atau pilkada. Orang-orang itu biasanya datang ke rumah kuncen untuk cari modal supaya terpilih.” Kata Mariji.
“Mereka semua berhasil, Pak?” Kata Ron, penasaran.
“Tak tentu. Dari cerita orang-orang yang pernah saya antar, ada yang berhasil, ada juga yang gagal.”
“Pak Mariji, kira-kira berapa orang yang berhasil? Dan apa saja syarat-syarat untuk melakukan ritual sugih itu?” Kata Ron, lagi-lagi beralas rasa penasarannya yang makin-makin.
“Kalau itu saya tak bisa bilang, saya takut salah. Nanti tanya saja sama kuncennya,” kata Mariji tanpa menengoķ ke belakang, ia menjadi pembawa jalan untuk dua tamunya. Ron berjalan persis di belakang Mariji, diikuti Raznan sebagai orang terakhir.
Ron berkata lagi, “Berapa yang diminta—.” Tapi Raznan sigap memegang bahu Ron lantas berbisik di telinga sahabatnya, “Tidak sopan kau tanyakan hal itu di tempat seperti ini.”
Seolah bisa menerka apa lanjutan pertanyaan Ron dan apa yang terjadi di belakangnya, lagi-lagi tanpa menengok ke belakang, Mariji berkata, “Nanti tanya saja sama kuncennya.”
Setelah itu tak ada obrolan lagi, hanya suara binatang hutan, mungkin sejenis jangkrik, yang memberisiki telinga ketiga orang itu selama mereka berjalan menyusuri jalanan kecil yang hanya bisa dilalui dua orang, di kiri kanan menghampar di sepanjang jalan semak belukar setinggi lutut orang dewasa, mereka juga melewati deretan pohon jati yang menjulang tinggi, mendaki sebuah bukit, lantas menuruni turunan curam sambil memegang batang-batang pohon di sekitar saat langkah kaki mereka diatur sedemikian rupa, hati-hati, agar tak tergelincir.
Suara jangkrik hutan makin menggelegar di telinga ketika tiga pria itu ketika menyeberangi sungai kecil di mana Ron dan Raznan harus menggulung ujung celana panjang mereka sampai di betis. “Rumah kuncennya ada di atas,” kata Mariji saat mereka bertiga selesai menyeberangi sungai kecil itu.
Ron dan Raznan kompak menengadah, mata mereka terpaku pada tanjakan curam di depan mereka, kelihatannya mereka harus menaiki tanjakan itu dengan usaha yang lebih keras daripada bukit yang mereka daki sebelumnya. Ron mengembuskan napas berat.
“Masih kuat?” Kata Mariji dengan senyuman satu bibir meninggi, tampak di mata Ron, pria rambut putih itu sedang meremehkannya.
“Kuat.” Ron bohong. Ia sebenarnya berat hati, dan ia yakin Raznan pun sama. Usia mereka sudah 45 tahun, tak pantas disebut pemuda lagi, tapi kadung berjalan jauh dan malu hati pada Mariji rambut putih yang lebih tua, ia harus pura-pura kuat. Raznan pun kelihatannya sepemikiran.
Mendaki tanjakan curam itu lelahnya selaras dugaan Ron, ketika mencapai puncak dan mendapati tanah datar, Ron dan Raznan kompak memegang lutut dan terengah-engah, jika lidah dua orang itu terjulur keluar maka penampakannya persis dua anjing. Mariji beda, ia membiarkan saja Ron dan Raznan beristirahat, ia lanjut berjalan ke arah sebuah rumah papan beratap seng berkarat yang jaraknya tinggal beberapa langkah lagi dari puncak tanjakan.
Ron mengamati Mariji. Pria rambut putih itu tak mengetuk pintu depan, malah berjalan lewat samping rumah papan itu dan menghilang ke belakang rumah. Ron lantas tolak pinggang, menengadah ke langit, dan menerka waktu, sudah tengah hari. Tengah hari yang sejuk, langit biru tanpa setitik awan dan matahari yang kelihatan membakar di atas kontras dengan hawa sejuk di sekitar, rasa-rasanya saat itu lebih tepat disebut magrib daripada tengah hari. Kesejukan itu sebenarnya bukan hal ajaib sebab tempat di mana Ron berdiri mungkin hampir separuh dari tinggi Gunung Putri Anjani. Jika puncak gunung itu ada setinggi sepuluh anak tangga, maka Desa Deretan ada di anak tangga pertama, dan rumah kuncen itu ada di anak tangga keeempat. Wajar bila matahari tengah hari tak mendidihkan tubuh mereka.
“Pak Raznan! Pak Ron!” Mariji berteriak dari arah rumah, di sampingnya berdiri seorang pria seusianya, setingginya, juga berambut sekepala-kepalanya berwarna putih, bahkan jenggot panjang yang berakar pada dagu pria tua itu pun putih seluruhnya. Saat berhadapan dengan dua pria berambut putih, Mariji memperkenalkan pria di sampingnya sebagai, “Orang yang Bapak-Bapak cari,” alias kuncen Gunung Putri Anjani.
“Rasit,” kata sang kuncen, “Panggil saja ‘Te* Rasit’.” (*Te adalah panggilan untuk sepuh laki-laki atau sapaan sopan untuk seorang kakek).
“Ron,” kata Ron sambil menyalami Te Rasit.
“Raznan,” juga meniru Ron.
Te Rasit lalu mengajak tamu-tamunya masuk ke dalam rumah. Selama beberapa saat Ron terus mengamati penampakan Te Rasit. Cara berpakaian dan aura Te Rasit jauh dari bayangan Ron sebelumnya tentang penampilan seorang kuncen gunung keramat atau dukun. Kuncen seharusnya berpakaian seluruhnya hitam, berikat kepala hitam, berambut panjang, berjanggut panjang, berdiri tanpa alas kaki, dan tanpa gigi lengkap saat tersenyum. Namun, siang itu penampilan Te Rasit mengubah pandangan Ron tentang ‘orang pintar’, Te Rasit mengenakan celana pendek coklat penuh noda hitam, kaus merah kusam yang juga penuh noda ragam warna, bersandal Yeye, dan saat tersenyum gigi Te Rasit lengkap. Ia memang berjanggut panjang, tapi penampakan Te Rasit sama saja seperti warga desa biasa yang bekerja di ladang. Tinggal diberi tolu* maka semua orang akan sependapat bahwa Te Rasit adalah seorang petani. (*Tolu adalah topi caping segitiga yang biasa dipakai petani).
Raznan yang memulai basa-basi basi saat mereka berempat telah duduk di kursi kayu ruang tengah rumah Te Rasit, ia bertanya tentang keadaan alam di sekitar rumah Te Rasit. Baru setelah percakapan mereka sudah mengalir bak banjir bandang, tanpa jeda hening canggung, Raznan akhirnya membawa percakapan itu kepada maksud kedatangannya dan Ron. Raznan yang kelihatan sudah sering menemui orang-orang seperti Te Rasit, memulai dengan, “Jadi, kedatangan kami ke sini niatnya untuk ‘minta petunjuk’ kepada Te Rasit.”
Tampak mengerti arah pembicaraan Raznan, Te Rasit bilang, “Bapak-bapak tahu dari mana soal tempat ini?”
Raznan kemudian bercerita tentang guru spiritualnya sekaligus kuncen tempat ritualnya di Kalimantan. Selama sekian saat Raznan dan Te Rasit mengobrol, Ron dan Mariji hanya diam mendengamati.
“Siapa yang akan melakukannya?” Kata Te Rasit.