SUDAH TIGA JAM Ron mengendarai motor yang dipinjamnya dari Sudaryono menuju Desa Deretan, sebentar lagi ia akan berbelok masuk ke jalanan berbatu dan tiba di Desa Deretan. Sepanjang perjalanan, sesekali ia menyesali kepulangan Raznan ke Kalimantan yang tiba-tiba sehingga ia harus melakukan ritual pertamanya seorang diri, andaikata Raznan menyertainya maka rasa takutnya barangkali akan sedikit memudar. Berulang kali Ron bersyukur dan memuji Raznan di dalam hatinya, Raznan itu manusia mulia. Lebih-lebih, sebelum bertolak ke Kalimantan Raznan sempat-sempatnya mampir ke rumah Ron untuk menitipkan uang kepadanya sebagai pegangan selama melakukan ritual dan untuk keperluan Susi serta anak-anak. Mulanya Ron menolak, jumlahnya kelebihan wah untuk Ron; ujungnya, Ron menerima saja karena Raznan bilang, “Anggap saja ini pinjaman, jika ritualmu berhasil, silakan saja jika kau mau mengembalikannya.”
“Bagaimana jika gagal?”
“Firasat saya bilang ritualmu akan berhasil. Ni Putri Anjani akan membantu orang baik seperti kau, Kawan,” kata Raznan.
Kata-kata itu entah bagaimana sanggup melipur keraguan Raznan pada ritual yang akan ia jalani. Sejak itu, ia yakin seyakin-yakinnya bahwa ia akan kaya raya dalam waktu dekat. Saat Mariji bilang bahwa ritualnya akan berhasil, Ron tak seyakin itu, mungkin karena ramalan Mariji itu disusul kata-kata kurang ajar tentang Raznan. “Saya punya firasat ritual Bapak akan berhasil. Tapi, jangan bawa Pak Raznan ke sini lagi! Pak Ron akan sengsara. Jauhi dia!”
“Jangan bawa Pak Raznan ke sini lagi.”
“Pak Ron akan sengsara.”
“Jauhi dia!”
Sudah berhari-hari kata-kata Mariji itu turut dalam kepala Ron ketika ia memikirkan ritual, dan setiap kali ia memikirkannya, Ron bertanya-tanya, apakah ia harus meminta bantuan Mariji untuk mengantarnya lagi ke rumah Te Rasit. Jika tak meminta Mariji, apa ia bisa sampai ke rumah Te Rasit? Ron membayangkan, apabila ia berjalan seorang diri bisa saja ia tak sampai ke rumah Te Rasit setelah berjalan melewati bukit dan tanjakan yang melelahkan. Perjalanan dari Desa Deretan ke rumah Te Rasit bukan perjalanan satu dua kilo.
Persis di gapura desa, bak dejavu, tampak seorang kakek yang rambutnya sekepala-kepala berwarna putih sedang duduk di kursi kayu teras rumahnya, Mariji, dan detik itu juga Ron kontak mata dengan Mariji. Mau tak mau, Ron menujukan motornya ke pekarangan rumah Mariji, parkir, dan segera bersalaman dengan pemilik rumah.
“Saya sudah menunggu Pak Ron.”
Ron sempat terkejut mendengar ucapan Mariji, tapi kemudian ia sadar, di tempat seperti Desa Deretan berita seremeh anak Kepala Desa mencret-mencret saja mungkin akan seketika diketahui seisi desa.
Di tengah basa-basi nusantaranya dengan Mariji, Ron terus memikirkan ucapan Mariji sebelumnya, dan karena tak menahannya lagi, ia langsung bertanya tentang maksud di balik ucapan Mariji tentang Raznan.
Mariji, yang mungkin membaca arti kernyit dan wajah keberatan lawan bicaranya ketika bertanya, justru tersenyum. “Saya tidak bermaksud jahat, Pak Ron. Saya hanya merasakan aura lain pada Pak Raznan saat kita bertiga ada di rumah Rasit. Nanti Pak Ron tanyakan saja kepada Rasit soal aura itu, saya yakin ia akan mengatakan hal yang sama.”
Ron tak mengomentari jawaban Mariji, malah meminta kesediaan pria rambut putih itu menyertainya ke rumah Te Rasit. “Sebelum kita berjalan ke rumah Te Rasit, bolehkah Pak Mariji mengantar saya terlebih dahulu untuk membeli kopi, gula, dan makanan ringan? Saya tak ingin menunggu di rumah Te Rasit sampai waktunya ritual dengan meja kosong.”
“Boleh,” kata Mariji.
x—x
Ron dan Mariji menemukan Te Rasit sedang memegang memegang kapak, sibuk membelah batang pohon di samping rumahnya, penampilannya seperti sebelumnya, bak petani desa, bercelana pendek dan berkaus oblong kusam, bedanya sore itu Te Rasit tak beralas kaki. Dan seperti sebelumnya, Te Rasit ramah menyambut dua tamunya dengan mengajak mereka duduk di ruang tengah.
“Apakah gadis itu sudah datang?” Ron tak membuka percakapan di ruang tengah dengan basa-basi basi.