SELAMA TINGGAL BERDUA dengan Tita di ruang tengah, Ron harus memeras otaknya, tak mudah mengalirkan obrolan dengan wanita pendiam seperti Tita, rasa-rasanya seperti perbuatan menjaring angin, sulitnya minta ampun. Belum lagi soal perbedaan usia dan jenis kelamin.
Bukannya mendekatkan hubungan mereka sebagai orang yang akan bersetubuh, makin lama berduaan dengan Tita, makin Ron merasa bahwa Tita adalah keponakan perempuannya; makin lama, tampak Tita makin emoh menatap mata Ron, dagunya makin ke bawah; ini membikin suara yang keluar dari tenggorokan Ron saat mengajukan pertanyaan kedengarannya seperti suara paman mengemong keponakannya. Meski begitu, beberapa kali Ron masih harus memperbaiki posisi duduk sebab berahi itu tetap saja ada.
Obrolan mereka canggung, tapi lewat pertanyaan yang terus-menerus Ron ajukan, sedikit-sedikit Tita mau membuka diri kepadanya. Ron akhirnya tahu bahwa Tita adalah mahasiswi sebuah universitas di Kota Kanding. Selain itu, dengan sedikit malu-malu Tita juga mau memberi tahu usianya, 22 tahun, yang artinya terpuat 23 tahun dari usia Ron, lebih dari separuh usia Ron. Tita juga bilang, dia sedang dalam masa akhir pendidikannya, sebentar lagi dia akan diwisuda. Namun, hanya informasi umum macam itu yang bisa Ron dapat dari Tita, mengenai alasan Tita melakukan ritual, latar belakang keluarga, asal daerah, dan semacamnya tampaknya berusaha Tita sembunyikan.
Setengah jam berlalu, Te Rasit kembali ke ruang tengah dengan tiga mangkuk berisi mi instan rebus. “Maaf, saya hanya bisa sediakan ini.”
“Wah! Tidak perlu susah-susah, Te, tadi saya sudah makan di desa,” kata Tita dengan suaranya yang lembut bak simfoni malam.
“Ayo, makan saja. Kita akan berjalan jauh setelah ini. Makan saja!” Te Rasit lalu menaruh salah satu mangkuk di ujung meja dekat Tita, satu lagi di depan Ron, dan ia duduk dengan satu mangkuk di tangannya.
“Terima kasih, Te,” itu saja kata Ron yang perutnya memang belum terisi sejak siang.
“Saya kan perempuan, nanti kalau ada pekerjaan di dapur yang bisa saya kerjakan, bilang saja, Te.”
“Pasti,” kata Te Rasit, acuh tak acuh, “Ayo makan!”
Seterusnya ketiga orang itu makan dengan lahap, dan tanpa diminta, selama masing-masing menyuapi mulutnya, Te Rasit bercerita tentang kehidupan pribadinya. Ia membuka cerita dengan berkata, “Saya ini hidup sendiri, saya tidak pernah menikah.” Lalu ia mengisahkan masa kecilnya di Desa Deretan, di mana ia juga punya rumah yang tak ditinggali di sana. “Kadang-kadang, kalau ada keperluan untuk saya turun ke desa, saya biasanya menginap di rumah itu. Rumah itu peninggalan orang tua saya. Memang kosong, tapi masih layak ditinggali. Kadang-kadang kalau ada keponakan-keponakan saya yang pulang kampung, rumah itu jadi tempat menginap mereka. Rumah itu sebenarnya rumah warisan keluarga yang sudah jadi milik saya.”
“Te Rasit punya saudara?” Kata Ron.
“Kepala Desa Deretan itu adik kandung saya. Kakak-kakak saya sudah mati seluruhnya, semua anak-anak mereka pun sudah menetap di kota. Yang tinggal di Desa Deretan tinggal adik kandung saya itu, Kepala Desa itu, anak-anaknya pun sudah menetap di kota.” Te Rasit melanjutkan cerita bahwa alasan ia tak menikah karena sejak muda ia memang sudah ditugaskan untuk menjadi perantara komunikasi Ni Putri Anjani dengan manusia. Saat ayahnya mati, Te Rasit sedang bekerja di kota, dan karena tinggal ia sendiri yang belum menikah di dalam keluarga, mau tak mau, ia melanjutkan tugas ayahnya sebagai kuncen Gunung Putri Anjani. Awalnya ia enggan, tapi pada suatu malam, Ni Putri Anjani datang ke dalam mimpinya dan memintanya untuk menggantikan tugas mendingan ayahnya. Tak lama setelah mimpi itu, Te Rasit pulang lagi ke kampung, masuk hutan, dan menetap di sana. “Barangkali saya kelamaan dan betah hidup di hutan, makanya saya tak sempat mencari calon istri,” kata Te Rasit disusul dengan tawa.
Ron dan Tita pun memberi tawa untuk menghargai pemilik rumah.
Dari cerita Te Rasit, Ron seolah mendapat jawaban untuk beberapa pertanyaan di dalam kepalanya tentang Te Rasit. Ternyata Te Rasit pernah hidup di kota, wajar jika cara bertuturnya dan pengetahuannya tentang dunia di luar hutan itu cukup baik untuk orang yang sudah menahun hidup sendirian di dalam hutan. Lagi pula, walaupun Te Rasit menetap di hutan, banyak orang kota yang sering mengunjunginya untuk melakukan ritual. Selain itu, detelah berinteraksi cukup dekat dengan Te Rasit, Ron juga mendapat pencerahan bahwa seorang kuncen itu tak melulu hidup seperti petapa atau dukun-dukun yang ada di televisi, mereka juga manusia yang hidup seperti manusia pada umumnya.
Te Rasit yang lebih dulu bangkit setelah isi mangkuk ketiga orang itu sudah kosong. “Sebentar lagi jam 9. Saya siap-siap sebentar, setelah itu kita berangkat!”
“Baik, Te,” kata Ron. Nyaris bersamaan, Tita yang dari tadi diam, ikut berdiri, meminta mangkuk kosong Ron dan berjalan ke dapur bersama Te Rasit.
Ron bangkit dari kursi, menuju ke ambang pintu depan, melangkahkan kakinya ke pekarangan, dan mendapati malam sudah renta. Gelap pekat, jika tak ada pancaran sinar strongkeng, barangkali tak ada yang terlihat di luar rumah itu; sinar strongkeng yang menyala benderang di dalam rumah hanya menampakkan beberapa batang pohon yang kelihatan bak bayangan saja. Saat Ron menengadah mencari langit, tak ada apa-apa di sana, hanya padang hitam, baru ketika ia memicingkan mata lantas menguatkan fokus, baru tampak gumpalan awan kelabu yang sedang diseret angin. Seketika Ron membayangkan hujan, bagaimana jika hujan mengacaukan ritual mereka? Tambah lagi, entah apa sebabnya, detik Ron merisaukan hujan, mendadak di tengah berisik suara jangkrik, burung, dan macam-macam suara binatang hutan yang berisik, menggema lebih nyaring suara kodok. Makin-makin Ron risau akan hujan.
“Mas sedang apa?”
Ron segera balik badan.
Tita sedang berdiri di ambang pintu.
“Cari udara segar.”
Tita tersenyum. “Mas Roni dipanggil Te Rasit ke dapur.”
Mendengar Tita mengucapkan namanya berpangkal kata ‘Mas’, hati ron mendadak berpadang bunga, ia gembira bukan main. Ia tak pernah meminta Tita menyebutnya ‘Mas’ atau sapaan semacamnya, Tita melakukannya begitu saja, dan itu membuat Ron merasa seolah tak ada jarak usia yang lebar di antara mereka.
Di dapur, Te Rasit sedang duduk menghadap meja makan reyot di mana ada dua gelas berisi air di atasnya. “Kalian harus minum air ini,” kata Te Rasit, suaranya berat, jauh berbeda dari sebelumnya.
“Untuk apa?” Kata Ron, datar.
“Mulai sekarang, sebaiknya kau tidak banyak bertanya.” Suara dan air muka Te Rasit mengisyaratkan bahwa ia seolah-olah tersinggung dengan pertanyaan Ron. Tak hanya itu Ron merasa ada yang berubah dari Te Rasit yang sebelumnya, dari perangai Te Rasit terpancar aura aneh, mencekam. Saat itu, suara binatang hutan di sekitar rumah pun semakin mencekam.
Tita yang lebih dulu meraih gelas di atas meja dan menenggaknya. Suasana yang mencekam teredam. Ron ikut maju, meraih gelasnya lalu menelan isi gelas itu.
“Duduk!” Kata Te Rasit dengan suara yang semakin rendah dan berat. Lagi-lagi, intonasi suara dan air muka Te Rasit semakin lain, jauh beda dari sebelumnya. Suara itu memang masih suara Te Rasit tapi bukan suara yang selama beberapa jam sebelumnya Ron dengar.
Tita segera duduk di sebuah kursi kayu, persis berhadapan dengan Te Rasit, Ron lebih dulu meraih kursi kayu di sudut ruangan dan menaruhnya di samping kursi Tita.
“Sekali lagi saya tanyakan.” Te Rasit mendadak diam beberapa detik. “Terakhir kali.” Diam lagi. “Apakah kalian siap jadi pementas di depan Ni Putri?”
Ron menatap Tita.
Tita mengangguk.
Ron menatap Te Rasit. “Siap.”