SAAT MOTOR YANG Ron kendarai menyusuri keramaian Kota Kanding, Tita tiba-tiba melepaskan tangannya dari pinggang Ron, saat yang sama Ron buru-buru meraih tangan Tita dan menaruhnya lagi di atas perutnya. “Tita, kau malu memeluk laki-laki tua seperti saya?” Kata Ron kepada Tita yang duduk di belakangnya.
“Bukan begitu, Mas Roni. Tangan saya pegal,” kata Tita.
“Bilang saja kalau kau malu dilihat orang,” Ron bertingkah merajuk.
Tita tertawa dan seketika melingkarkan dua tangannya lagi di perut Ron dan memeluknya erat-erat. Mereka tertawa bersama. Tak berapa lama, setelah berboncengan selama berjam-jam, motor yang Ron kendarai tiba di depan pagar sebuah indekos bertingkat.
“Apakah Mas Roni yakin akan pulang sekarang?” Kata Tita sesudah berdiri di samping motor Ron yang masih menyala.
“Sepertinya begitu. Saya tidak punya tempat tinggal di kota ini.”
Tita memegang batang tangan Ron yang jari-jarinya masih melingkari gagang setir. “Sekarang sudah sore. Apakah Mas Roni masih kuat membawa motor selama 6 jam lagi?”
“Usia saya belum uzur seperti Te Rasit.” Ron tertawa.
Tita manyun, candaan Ron tak termakan. “Begini saja, Mas Roni menginap saja di kamar saya.”
“Tapi ini indekos, apa boleh kita tidur satu kamar?”
“Boleh.”
“Bagaimana kalau ada yang bertanya saya siapa?”
“Paman saya dari kampung.”
“Saya tidak mau. Saya masih muda, Tita.” Ron merajuk lagi, bak bocah.
“Terserah. Mas Roni lebih baik berkendara 6 jam atau mengaku sebagai paman saya,” Tita menantang.
“Begini saja, saya cari penginapan saja. Tapi saya punya permintaan,” kata Ron, pelan, ragu.
“Saya temani tidur lagi?”
Ron kaget Tita bisa membaca pikirannya, seolah-olah mereka sudah saling kenal selama belasan tahun. “Bolehkah?” Kata Ron, masih ragu.
“Ya, sudah. Saya mandi dulu baru saya temani Mas Roni cari penginapan.”