Ritual Sugih Ni Putri Anjani

E. N. Mahera
Chapter #19

Bagian 19

DI TENGAH MALAM, tengah amarahnya pada Tita yang menggumpal pekat di dadanya, Ron rela menyetir mobil selama enam jam untuk pulang ke kotanya. Sepanjang jalan berulang kali kata-kata Tita menggema dalam kepalanya, “Saya tak bisa lagi menemani Mas Roni untuk menggenapi ritual itu. Saya tak bisa lagi menemani Mas Roni untuk menggenapi ritual itu. Saya tak bisa lagi menemani Mas Roni untuk menggenapi ritual itu.

Apa yang akan terjadi jika ritual itu tak genap tujuh kali? Apakah ia akan jadi laki-laki miskin lagi yang seenaknya dimaki-maki oleh Susi? Atau, hal yang mungkin lebih buruk?” Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab oleh ingatan Ron sendiri lewat percakapannya dengan Te Rasit.

“Dia akan menerima akibatnya jika kalian tidak melakukan ritual itu sampai selesai. Tujuh kali.” 

“Apa akibatnya?” 

“Itu urusan Ni Putri.” 

“Apakah mungkin akibatnya adalah nyawa keluarga?” 

“Itu urusan Ni Putri.”

 “Mbak Tita itu orang baik. Saya yakin, dia tak akan curang. Lagi pula saya sudah memberi tahu akibatnya jika ritual itu tak genap dilakukan tujuh kali. Pak Ron ingat?”

“Akan ada tumbal.”

“Orang yang mendapat ‘petunjuk’ akan mendapat ganjaran Ni Putri.”

“Ganjaran itu maksudnya tumbal, bukan?”

“Pak Ron tahu apa maksud saya.”

Siapa yang akan menjadi korban? Anak-anaknya? Susi? Atau, Tita? Wanita yang Ron cinta.

Banyak terkaan lain yang merecoki isi kepala Ron sampai tak terasa mobil sewaan yang ia kendarai sudah berada di jalanan kotanya. Lantaran saat itu sudah hampir subuh, Ron memutuskan untuk tak terus menuju rumah, ia memarkirkan mobilnya di depan warung jahit warisan ayahnya yang sudah lama tak beroperasi.

Subuh itu Ron mengulang kebiasaan yang sudah beberapa bulan tak ia lakukan, berbaring berbantalkan gulungan kain bahan seragam PNS di dekat kaki meja jahit dan jatuh dalam mimpi. Pagi harinya, kebiasaannya yang dulu digenapi semesta, Ron dibangunkan oleh gelegar knalpot motor pengendara jahanam yang lewat di depan warung jahitnya. Setelah itu Ron pergi ke warteg Sudaryono, kemudian memesan nasi setengah porsi, taoge, dan kuah opor yang disiram di atas nasi. Entah mengapa Ron merindukan kebiasaannya yang dulu saat masih menjadi laki-laki miskin, dan ia dengan sadar mengulang kebiasaan-kebiasaan itu. Hanya saja, selama menyantap makanan murah itu, ia tak sekali pun merisaukan uang atau nasib ketiga anaknya; pagi itu Ron merisaukan Tita dan ucapannya malam sebelumnya. Karena itu, muncul pertanyaan-pertanyaan yang semalam nyaris meledakkan kepalanya: “Apa yang akan terjadi jika ritual itu tak genap tujuh kali? Apakah ia akan jadi laki-laki miskin lagi yang seenaknya dimaki-maki oleh Susi? Atau, hal yang mungkin lebih buruk?

 

x—x

 

Usai paginya habis dengan risau kemudian mengobrol bersama kawannya Sudaryono, Ron mengembalikan mobil sewaan, dan dari tempat sewa mobil ia berjalan kaki ke rumahnya. Ia melakukannya karena keinginan hati, bukan karena terpaksakan keadaan seperti dulu. Dan selama berjalan kaki, lagi-lagi pertanyaan itu merecoki kepalanya: “Apa yang akan terjadi jika ritual itu tak genap tujuh kali?

Ketika rumahnya sudah tampak di mata, Ron merasa ia mengalami sesuatu yang pernah ia alami dengan perasaan yang persis sama, dejavu. Dari kejauhan tampak Avanza hitam sedang terpakir di depan rumahnya sementara di teras rumah dua manusia sedang mengobrol dengan tawa dan senyum bahagia yang membikin Ron mengernyit seketika. Melihat Raznan sahabatnya dan Susi istrinya mengobrol rasa-rasanya ada angin menggumpal yang menabrak wajahnya dan saat yang sama muncul kerikil-kerikil yang menyesakkan dada. Perasaan ini pernah ia alami, dan Ron bertengkar dengan dirinya sendiri karena perasaan itu. Tak mungkin ia mencemburui wanita yang tak dicintainya dan akan ia ceraikan sebentar lagi. Seperti sebelumnya, Ron tak meladeni perasaan itu, ia mengubah air mukanya detik itu juga dan mulai melangkah cepat menuju rumahnya.

“Raznan!” Teriak Ron.

Senyum Susi langsung pudar saat melihat suaminya dan detik itu juga berdiri, masuk ke dalam rumah tanpa permisi.

“Ron!” Raznan juga berdiri dan menyalami kawannya. Itu pertemuan pertama mereka sejak Raznan mengantar Ron ke rumah Te Rasit dan pulang ke Kalimantan secara mendadak. Sejak itu mereka berkomunikasi dan berbisnis melalui ponsel saja.

“Mengapa tak bilang kau akan tiba di sini, Nan? Tahu begini, saya jemput kau di bandara.”

“Mendadak. Ada urusan yang harus saya selesaikan.”

Seterusnya Raznan dan Ron menghabiskan siang lalu sore sampai malam di teras rumah sambil mengobrol. Susi tak ikut bersama lagi seperti sebelumnya, dia hanya datang ke teras tiga kali, sekali mengantar teh, sekali mengantar piring makanan, dan sekali lagi untuk mengambil piring dan gelas kotor sekaligus mengantar kopi panas untuk suami dan sahabat suaminya.

Lihat selengkapnya