“KEMARIN MBAK TITA pindah,” kata pria paruh baya yang mengaku sebagai penjaga indekos.
“Apa? Pindah? Pindah ke mana?” Mata Ron terbelalak.
“Saya kurang tahu.”
“Tita tidak bilang akan pindah ke mana?” Ron mendesak lawan bicaranya.
“Tidak.”
“Jangan bohong!” Ron meledak. “Kau—.”
“Ron,” Raznan yang berdiri di samping seketika merangkul sahabatnya, “Ron, sudahlah. Tenang!”
Ron melepaskan rangkulan Raznan lalu membelakangi Raznan dan penjaga indekos itu.
“Pak, apakah Tita menyampaikan sesuatu sebelum pindah dari sini?” Kata Raznan, intonasi suaranya dibikin sehalus dan sesopan mungkin.
“Bapak-bapak ini dari mana? Ada hubungan apa dengan Mbak Tita?” Suara dan air muka penjaga indekos itu berubah menjadi penuh kecurigaan.
“Kami saudaranya dari kampung.”
“Tidak. Mbak Tita tidak bilang apa-apa saat mengembalikan kunci kamarnya.”
“Apakah ada informasi lain yang kira-kira bisa kami gunakan untuk melacak keberadaan Tita?” Kata Raznan.
“Katanya Bapak-Bapak ini saudara Mbak Tita.”
Raznan diam, tampaknya ia kehabisan kata-kata untuk berbohong.
“Jadi Bapak-Bapak ini benar saudara Mbak Tita dari kampung atau bukan?”
Ron balik badan lagi menghadap penjaga indekos itu dan berkata, “Kami pamannya Tita dari Kampung Mariwi, orang tuanya yang mengutus kami ke sini karena dia sudah tak bisa dihubungi selama seminggu terakhir. Keadaan ayahnya yang terserang strok makin buruk. Kalau Bapak ada hati, bantulah kami.”
Penjaga indekos itu diam dan menatap tajam mata Ron dan Raznan secara bergantian. “Baiklah,” katanya, ia lalu meninggalkan tamunya di gerbang indekos. Tak lama penjaga indekos itu kembali lagi dengan kertas kecil di tangannya. “Saya tak tahu ini bisa membantu atau tidak, tapi ini fotokopi KTP Mbak Tita, di belakangnya ada nomor ponsel kerabatnya.”
Ron menerima kertas itu. Ia mengamatinya untuk sebentar, alamat yang tertera di KTP itu hanya 'Desa Mariwi', tak ada nama jalan atau nomor rumah. Di belakang kertas kecil itu, tertera deretan nomor ponsel dan tulisan Sari. Ron ingat nama itu, Sari adalah anak perempuan Nordin yang menyarankan Tita melakukan ritual di kaki Gunung Ni Putri Anjani.
"Bukankah Sari itu teman satu indekos Tita di sini?" Kata Ron.
"Tak ada nama Sari yang tinggal di sini. Mungkin Sari itu teman Mbak Tita di indekos sebelumnya.”
"Apakah Bapak tahu di mana indekos Tita sebelumnya?"
Penjaga indekos itu menggeleng.
"Apakah ada orang yang sering datang mengunjungi Tita di sini?"
“Indekos ini bebas. Setiap saat banyak tamu yang datang mengunjungi para penghuni, dan kami tidak punya aturan khusus saat orang datang berkunjung, jadi kami tidak menanyakan nama pengunjung satu per satu. Lagi pula, saya sebenarnya Tita terlalu mengenal Mbak Tita, dia tinggal di sini kurang dari satu tahun,” kata penjaga indekos, wajahnya mulai tampak keberatan menjawab banyak pertanyaan. “Saya kira cuma itu yang bisa saya katakan. Hubungi saja nomor di kertas itu jika Bapak-Bapak masih punya pertanyaan lain. Maaf, saya ada urusan lain.”
“Terima kasih bantuannya, Pak,” kata Raznan.
“Terima kasih,” kata Ron, seolah kekurangan daya berkata-kata.
Begitu penjaga indekos itu enyah, di tempat itu juga, bersandar pada gerbang indekos bertingkat itu, Ron langsung menghubungi nomor ponsel yang ada di atas kertas kecil itu.
Nomor yang Anda tuju ...
“Keparat! Nomor ini juga tidak aktif,” kata Ron.
Raznan meminta fotokopi KTP Tita dari tangan Ron dan berkata, “Kau kenal siapa Sari?”
“Dia anaknya Nordin.”
“Nordin?”
“Penduduk Desa Deretan.”
“Apakah kau punya nomor ponselnya?”
Ron menggeleng.
“Begini saja, coba hubungi Kepala Desa Deretan!” Kata Raznan, “Mungkin ia tahu nomor ponsel Sari. Kalau Sari itu seumuran Tita dan tinggal di kota, dia pasti punya nomor ponsel.”
Detik itu juga Ron menuruti saran Raznan.
“Halo, Pak Kades!”