HARI SENIN SORE, beberapa jam sebelum ritual kelima.
Setelah meninggalkan Kota Kanding, Ron dan Raznan terus-terusan diam selama dua jam ada di dalam mobil. Raznan yang duduk di kursi sopir entah memikirkan apa, sementara Ron yang duduk di samping sopir banyak sekali isi pikirannya. Tita. Hanya Tita seorang yang merecoki pikiran dan pengandaian Ron.
Mobil mereka sedang menuju Desa Deretan, dan keberadaan Tita masih saja sebuah kira-kira di kepala Ron. Tiga hari mengelilingi Kota Kanding tak membuahi hasil untuk Ron dan Raznan. Semua indekos yang pernah Tita tinggali sudah mereka datangi, belasan orang yang mengenal Tita–baik kenalan, teman kuliah, sampai pemilik rumah makan padang langganan Tita–sudah mereka wawancarai, tetapi tak ada yang bisa memberi petunjuk pasti di mana Tita. Selain berkeliling, Ron dan Raznan juga menggunakan teknologi dalam proses pencarian. Lewat beberapa media sosial, mereka juga menghubungi hampir semua teman kuliah Tita yang kebanyakan sudah pulang ke kampung masing-masing setelah diwisuda, dan jawaban orang-orang itu pun tak banyak membantu.
Satu hal yang aneh tentang kehidupan Tita adalah semua teman dan kenalannya selama kuliah di Kota Kanding tak memiliki informasi rinci tentang orang tua atau kampung halaman Tita; tentu mereka tahu bahwa Tita adalah gadis perantau dari Desa Mariwi, sebuah desa di pesisir Pulau Halmahera, dan cuma itu yang mereka tahu tentang asal-usul Tita, mereka tak pernah bertemu atau diperkenalkan kepada orang tua, keluarga dekat Tita, atau kenalan satu daerah yang sama-sama tinggal di Kanding.
Menurut Ron, hal itu tidak wajar, tetapi menurut Raznan itu bukan hal yang aneh untuk kehidupan orang di Kota Kanding, kata Raznan, “Kanding itu isinya banyak perantau dan mahasiswa. Jadi, orang-orang biasanya tak merasa perlu untuk tahu asal-usul seseorang. Apalagi, Tita berasal dari Pulau Halmahera, jauh di timur sana. Yang aneh menurut saya adalah Tita tak punya kenalan atau keluarga satu daerah yang tinggal di Kanding.”
Saat roda mobil mereka mulai menapaki jalanan berbatu, Raznan memalingkan wajahnya kepada Ron yang sedang melamun, pandangannya terpaku pada entah di luar jendela.
“Kita sudah berusaha, Ron. Mudah-mudahan ada jalan lain.”
Ron menatap Raznan. Ya, Raznan benar, mereka sudah mencoba berbagai cara dan bicara dengan semua orang yang mereka jangkau, tapi jejak Tita tak tercium sedikit pun sampai hari Senin sore itu.
“Mungkin jalan satu-satunya adalah saya pergi ke kampung halaman Tita.”
“Kita masih punya satu harapan terakhir. Berharap saja sekarang Tita sudah lebih dulu tiba di rumah Te Rasit,” kata Raznan, tetap menjadi kawan yang menyuntikkan optimisme buta kepada Ron.
“Harapan itu terlalu muluk,” kata Ron dengan intonasi dan air muka yang sudah jadi khasnya beberapa hari terakhir, pasrah. “Apa yang harus saya katakan kepada Te Rasit?”
“Sebelum kita ke rumah Te Rasit, kita temui Mariji dulu, tanyakan pendapatnya soal ini. Mungkin pernah ada kasus seperti ini yang terjadi pada orang-orang yang ia sertai,” kata Raznan.
Ron mengangguk.
x—x
Lagi-lagi, saat mobil Ron dan Raznan melintasi gapura desa, apa yang mereka alami saat pertama kali mengunjungi Desa Deretan terjadi lagi, tampak di mata mereka seorang pria tua berambut putih sedang duduk di teras rumah. Seolah-olah sudah tahu kedatangan Ron dan Raznan, Mariji segera bangun dari kursi ketika mobil berhenti di depan rumahnya.
Sesudah memberi salam dan mengajak para tamunya duduk di teras rumah, sebelum sempat pantat Ron menyentuh kursi kayu, Mariji berkata, “Di mana Mbak Tita?”
Ron dan Raznan saling tatap sebentar.
“Sepertinya Mbak Tita tidak bisa hadir hari ini,” kata Ron.
“Maksudnya?”
Ron lalu menceritakan apa yang ia alami selama beberapa hari terakhir. Dan selama Ron bercerita sampai beberapa detik setelah cerita itu habis, Mariji tak mengeluarkan sepatah kata pun, wajahnya menampakkan kecemasan yang makin mencemaskan Ron.
“Pak Mariji, saya punya pertanyaan,” kata Ron karena ia ragu Mariji akan bicara.
Mariji menatap Ron dan Raznan secara bergantian.
“Apakah pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya? Maksud saya, pernahkah ada orang yang tak menggenapi ritual itu?” Kata Ron lagi.
“Pernah.” Mariji akhirnya buka mulut.
“Apa akibatnya jika ritual itu tak digenapi?”
Mariji menggeleng. “Saya tak bisa memastikan soal itu.” Wajah Mariji yang tadinya menampakkan kecemasan telah menampakkan emosi yang berbeda, Ron sulit menjelaskan emosi itu, tampak seperti ketakutan, kengerian, dan rasa jijik yang bercampur jadi satu.
“Sama sekali Pak Mariji tak tahu?” Giliran Raznan yang bertanya.
“Saran saya, jangan temui Te Rasit tanpa Mbak Tita. Percuma,” kata Mariji tanpa menjawab pertanyaan Raznan.
“Pak Mariji menyarankan saya juga ikut menghilang?” Kata Ron, kalimat penasarannya bercampur keterkejutan.
“Saya akan naik ke rumah Rasit dan memastikan apakah Tita ada di atas atau tidak. Jika Tita ada di atas, saya akan turun memberi tahu Pak Ron untuk naik, jika tidak, kita lihat apa yang terjadi nanti. Pak Ron tunggu saja di sini, jangan naik.” Lagi-lagi, Mariji tak menjawab pertanyaan.
“Kenapa?”
“Tak ada gunanya. Rasit mungkin akan membunuh Pak Ron.”
“Apa?” Mulut Ron terbuka, keterkejutannya nyaris saja membuatnya terlempar dari kursi. “Bunuh?”
“Saya tak ingin ada kekerasan lagi di desa ini. Ikuti saja apa yang saya katakan.”
“Baiklah.”