“NAN, APA YANG harus saya lakukan?” Kata Ron kepada Raznan yang sedang fokus menyetir.
Raznan melirik sahabatnya. “Pasti ada jalan lain. Saya yakin,” kata Raznan, masih betah menitahkan optimisme buta.
Ron tak menjawab lagi, ia menatap sahabat kecilnya yang sudah menatap jalanan lagi. Untuk sesaat Ron mengenang masa kecil mereka yang penuh canda dan tawa, karena itu ia merasa beruntung Raznan ada bersamanya, memang, optimisme buta Raznan kadang menjengkelkan, tetapi ia tak mampu meminta Raznan untuk berhenti memberinya semangat, Ron tak mampu menghardik Raznan yang terlalu optimis, Raznan adalah satu-satunya manusia yang bisa ia percaya.
Ron punya banyak alasan untuk menyalahkan sahabatnya itu karena Raznanlah yang membawa ia menemui Te Rasit, tetapi ia tak mampu menyalahkan sahabatnya itu, bagaimana pun juga Ron yang memutuskan melakukan ritual itu. Dan lagi, jika ia tak menuruti saran Raznan, ia tak akan bertemu Tita, dan mungkin ia tak akan tahu bagaimana rasanya mencintai dan dicintai wanita lain. “Tita, kau di mana?” Kata Ron dengan gerak bibir saja, tanpa suara, tidak kepada siapa-siapa. Raznan tak mendengar kata-kata itu.
Saat Avanza hitam yang Raznan kendarai sudah memasuki kota, Ron berkata, “Nan, sampai kapan kau di sini?”
“Saya tak tahu, masih ada urusan bisnis yang harus saya kerjakan di sini”
“Jika kau ada waktu, maukah kau temani saya lagi mencari Tita?”
“Pasti, Kawan. Saya tak akan berhenti membantumu sampai kau tahu Tita ada di mana. Dan, saya baru kepikiran, saya akan bertanya kepada guru spiritual saya, apakah ada jalan lain untuk masalahmu.”
“Siapa gurumu itu?”
“Orang yang membimbing saya dalam ritual di tempat saya.”
“Ia bisa membantu saya?” Kata Ron, menggebu. Seperti cahaya di ujung terowongan, Ron merasa ia baru saja menemukan harapan baru untuk pengandaiannya.
“Saya usahakan. Tapi, kemungkinannya sangat kecil,” kata Raznan, lesu.
“Terima kasih, Nan. O, ya, antarkan saya ke warung jahit saja.”
“Kenapa? Kau tak ingin pulang?”
“Saya ingin tidur di warung saja malam ini.”
“Baiklah.”
Malam itu, setelah membuka pintu warung jahitnya, Ron langsung berbaring di dekat kaki meja jahit sementara kepalanya berbantalkan gulungan kain bahan seragam PNS, dan tak lama ia jatuh dalam mimpi, tubuh dan pikirannya terlalu letih untuk cemas.
x—x
Pagi.
Lagi-lagi mata Ron terbuka oleh gelegar knalpot motor pengendara jahanam, dan apa yang tampak adalah plafon putih di langit-langit ruangan. Sesaat setelah kaya raya, hal pertama yang Ron lakukan adalah memperbaiki warung jahit warisan ayahnya, ia langsung mengganti plafon lapuk bernoda coklat dengan triplek-triplek baru yang dicat putih dan memperbaiki semua benda yang tampak renta di warung jahitnya. Ron melakukan itu tanpa tujuan apa-apa, warung jahit itu tak berguna lagi, ia sudah tak menjahit sejak kaya raya, ia memugar warung jahitnya semata-mata untuk membanggakan mendiang ayahnya.
Seterusnya, tetap berbaring memandang plafon, pikiran Ron berkelana lagi, pulang ke masa lalu kemudian mencari masa depan. Tak ada kecemasan, kekhawatiran, ketakutan; hanya kenangan dan harapan. Saat wajah Tita terngiang, yang Ron pikirkan bukan lagi tentang kelanjutan ritual, tapi kenangan bersama Tita. Pagi itu Ron benar-benar dicekik rindu, dalam khayalnya ia membelai pipi Tita, mencium bibirnya, dan mengucapkan kata sayang untuk telinganya. Pagi itu Ron berpikir, jika Tita benar-benar tak mau melanjutkan ritual itu, mungkin ia akan mengiakan keinginan kekasih gelapnya dan mengusahakan cara lain agar tak ditimpa malapetaka Putri Anjani.
Setelah badan dan pikirannya beristirahat sepanjang malam, kecemasan Ron tentang ritual itu mulai menipis, mungkin semuanya akan baik-baik saja, apalagi Raznan sempat menyalakan cahaya di ujung terowongan ketika ia bilang akan bertanya pada guru spiritualnya. Tidur benar-benar memoles pikiran Ron, optimisme yang berulang kali coba Raznan suntikkan kepadanya baru berkhasiat. Berhari-hari mengelilingi Kota Kanding, menemui puluhan orang, dan tak menemukan petunjuk keberadaan Tita bisa jadi alasan tekanan pikiran dan kecemasannya yang berlebihan beberapa hari terakhir. Namun, pagi itu segalanya ia pandang berbeda.
Ron bangun dari lantai, dan seolah ia tinggal di barak pendidikan militer yang terjadwal ketat, ia langsung keluar dari warung jahitnya dan menuju warteg Sudaryono. Pagi itu Ron tak memesan nasi setengah porsi, tauge, dan kuah opor, ia terlalu lapar untuk bernostalgia masa miskinnya; pagi itu ia makan seperti orang kaya, nasi satu porsi, sayur kangkung panas, telur dadar, dan paha ayam. Setelah kenyang, sedang Ron mengobrol dengan Sudaryono tiba-tiba obrolan mereka dihentikan oleh suara narator berita di televisi. Di layar kaca tertulis: Istri Bakar Suami karena Sakit Hati. Tatapan Ron terpaku pada layar televisi.
“Ada apa dengan orang-orang zaman sekarang?”
Ron tersentak, ia melepaskan tatapannya dari televisi lantas menatap Sudaryono. “Apa?”