Ritual Sugih Ni Putri Anjani

E. N. Mahera
Chapter #23

Bagian 23

SEJAK MOBIL MEREKA berangkat dari Sofifi Ron tak bicara kepada Frans, ia terus membuang pandang keluar jendela, kepada isi hutan—pohonan dan tumbuh-tumbuhan—di sepanjang jalan menuju Desa Mariwi.

Sejak di atas pesawat rasa takut untuk menemui Tita terus-terusan menghantuinya, Ron bingung mengapa ketakutan itu ada, yang pasti ia mulai menyesal sejak merenung dalam penerbangannya ke Ternate. Dalam pengandaiannya, Ron merasa bahwa perjalanannya ke Halmahera mungkin akan sia-sia, Tita sampai rela pulang kampung demi menghindar darinya adalah bukti bahwa keputusan Tita sudah bulat, tak ada gunanya bicara dengan Tita supaya gadis itu mau menggenapi ritual. Namun penyesalan dan ketakutannya langsung dibantah pikirannya sendiri, sebab malapetaka yang akan menimpa hidupnya jika ritual itu tak digenapi sudah jelas. Kata-kata guru spiritual Raznan bahwa akan ada tumbal nyawa serta mimpi Ron tentang Te Rasit yang menggorok leher Melani dan Livia di warung jahit adalah tanda bahwa tumbal yang diminta Putri Anjani adalah nyawa anak-anaknya. Memikirkan keselamatan anak-anaknya adalah obat untuk ketakutan untuk menemui Tita.

“Dua puluh menit lagi kita akan sampai di Mariwi, Pak Ron,” kata Frans.

Ron menatap Frans yang sedang menatap jalan, fokus menyetir. “Baik.” Setelah itu Ron kembali membuang pandangnya ke luar jendela.

Ron tak pernah berpikir ia akan menginjak tanah Pulau Halmahera, Indonesia Timur. Halmahera terlalu jauh dari kotanya, untuk sampai ke sana saja ia harus melewati perjalanan udara, laut, dan darat: hampir empat jam duduk di pesawat ke Ternate, menyeberang dengan kapal feri selama satu jam ke Sofifi—ibu kota Provinsi yang penampakannya lebih buruk dari kota kecamatan, kemudian ditutup dengan perjalanan mobil selama empat jam lagi ke bagian utara Halmahera untuk sampai di Desa Mariwi. Perjalanan yang panjang, melelahkan, dan membingungkan. Jika bukan Raznan, mustahil Ron berani untuk datang seorang diri ke Halmahera.

Setelah Raznan menyarankan Ron untuk pergi menemui Tita di Halmahera, Raznan langsung menghubungi Frans mantan karyawannya yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara, untuk menanyakan hal-ihwal menjangkau Pulau Halmahera, mengingat ujung utara Pulau Sulawesi berseberangan dengan  ujung utara Pulau Halmahera. Entah semesta sedang baik atau memang begitu adanya, ternyata Frans sedang menetap di Ternate. Karena itu, pada hari Ron mendapat informasi dari Raznan, malam itu juga ia berangkat ke Halmahera tanpa Raznan, dan tanpa bilang kepada Susi atau anak-anaknya.

“Pak Ron, ini Desa Mariwi!” Kata Frans.

Ron menatap ke depan, di sepanjang jalan lurus itu, tampak di kiri kanan jejeran rumah yang menghadap aspal, dindingnya macam-macam, ada yang terbuat dari kayu, tembok, bahkan bambu.

“Apa marga wanita yang Pak Ron cari?” Kata Frans lagi.

“Nama lengkapnya Maria Tarita Kalama.”

“Marganya ‘Kalama’?”

“Ya.”

“Kita tanyakan saja kepada Kepala Kampung.” Frans mulai memelankan laju mobil. “Biasanya di depan rumah Kepala Kampung ada papan pemberitahuan. Tolong Pak Ron perhatikan sebelah kiri.”

“Baik.” Ron mulai memperhatikan dengan cermat rumah-rumah yang ada di sisi kiri arah maju mobil. “Itu rumah Kepala Desa,” Kata Ron.

Frans menepikan mobil. “Saya saja yang turun untuk bertanya. Pak Ron tunggu di mobil saja.”

Lihat selengkapnya