TUBUH RON MASIH terlalu lemas, tapi dengan sekuat tenaga ia berusaha berdiri dengan berpegangan pada engsel pintu, dan saat ia sudah benar-benar berdiri, penglihatannya pun masih sempat oleng, ia harus menutup mata untuk memantapkan penglihatannya. Sekian detik, merasa agak membaik, Ron membuka pintu kamar dan mendapati Tita masih terlelap. Lantas ia berjalan ke arah kursi, menarik kursi itu ke samping ranjang dan duduk di sana untuk mengamati Tita yang damai dalam mimpinya.
“Wanita ini harus mati!” Ada suara, entah siapa, yang menggema di dalam kepala Ron.
“Dia yang membunuh Melani dan Livia.”
“Dia yang lari dari ritual itu! Sampai-sampai Ni Putri harus mengambil Melani dan Livia.”
“Bukan Tita! Tita tak bersalah, Putri Anjani yang membunuh Melani dan Livia.”
“Jika dia tidak lari mungkin Melani dan Livia masih hidup. Dia bersalah!”
“Kau yang bersalah! Jika kau melakukan ritual itu, mungkin Melani dan Livia masih hidup.”
“Semuanya sudah berlalu. Ritual itu sudah dilakukan! Tak ada gunana menyesali kemarin. Lagi pula ritual itu membuatmu menjadi kaya raya! Lantaran kau kaya raya, kau bisa membalas sakit hatimu pada Susi! Dan itu bisa terjadi karena Ni Putri. Jangan salahkan Ni Putri.”
“Kau tahu, gelap tak akan bersatu dengan terang! Kau tahu itu! Jangan salahkan orang lain karena malapetaka akibat perbuatanmu!”
“Dia menghilang! Kau tak bersalah! Karena dia, jika dia mau menggenapi ritual itu, Melani dan Livia akan baik-baik saja!”
“Kau mencintai Tita! Jangan lupakan itu! Dan dia juga mencintaimu, yakinlah!”
“Balaskan dendam Melani dan Livia! Arwah mereka tak akan tenang jika dia masih hidup! Ron! Kau tak pernah mencintai wanita dalam hidupmu, jangan ditipu oleh wanita tak tahu diri itu! Balaskan dendam anak-anakmu, Ron!”
“Kau mencintai Tita, Ron. Dia wanita pertama yang kau cintai! Kau bahagia saat bersamanya!”
Setitik air mata mendadak keluar dari ujung mata kanannya, seketika Ron menyeka air mata itu dan bangkit dari kursi. Ia mendekati ranjang, menyentuh lutut Tita.