Riuh dalam Sunyi

syaifulloh
Chapter #1

Dunia yang Sunyi#1

Bagian I: Dunia yang Sunyi

BAB 1 – Ruang yang Terlalu Rapi

Namaku Arfan. Usia delapan belas tahun. Kamar ini ukurannya tiga kali tiga meter, dindingnya putih, dan tidak ada yang berubah sejak dua tahun lalu. Lemari di pojok, kasur di bawah jendela, meja belajar dekat pintu. Terlalu rapi, terlalu tenang. Tapi pikiranku tidak pernah setenang itu.

Ibu sering bilang, aku anak pendiam. Guru-guruku bilang, aku pintar tapi tertutup. Dinda, kakakku, yang bilang aku terlalu peka. Dan aku rasa dia benar.

Pagi itu, aku bangun dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Seperti suara yang ditelan dinding, seperti langit-langit kamar yang menatap balik. Ada yang aneh, tapi aku tidak bisa menunjukkan letaknya.

Aku tidak turun sarapan. Ibu memanggil, tiga kali. Aku hanya menatap bayanganku di cermin meja belajar. Mataku sayu, rambut awut-awutan, dan bekas kuku di lengan yang kian merah. Aku tidak sadar sudah menggaruknya sepanjang malam.

Pikiranku melayang ke mimpiku semalam. Aku berdiri di tengah ruang kelas yang kosong, sementara suara-suara murid berceloteh terdengar jelas di sekitarku. Aku tidak melihat mereka, tapi aku tahu mereka ada. Suara-suara itu menertawaiku.

"Dia aneh." "Ngomong sama dirinya sendiri." "Mending jauhi aja."

Ketika aku membuka mata, suara itu masih ada. Samar. Mengambang di udara kamar. Atau mungkin hanya di kepalaku?


Di sekolah, semuanya terasa seperti sandiwara. Guru yang bicara tanpa melihat. Teman-teman yang tertawa terlalu keras. Lonceng yang berdentang seperti sirine kebakaran. Aku duduk di bangku pojok, berharap hari segera selesai.

Dinda menjemputku pulang karena aku mendadak demam. Di mobil, dia tidak banyak bicara. Tapi matanya memantauku, seperti ingin tahu apakah aku masih menjadi adiknya yang ia kenal.

"Kamu masih suka mimpi aneh, Fan?"

Aku tidak menjawab. Hanya menunduk.

"Kalau kamu mau cerita, aku ada di sini. Nggak akan nilai apa pun."

Aku ingin percaya. Tapi ada bisikan pelan dari kursi belakang.

"Jangan. Dia bukan dia."

Aku menoleh cepat. Tak ada siapa pun. Hanya kami berdua di mobil. Tapi suara itu nyata. Setidaknya bagiku.

Aku menutup mata. Dunia terasa padat dan ringan dalam waktu bersamaan. Seperti tenggelam dalam air, tapi tidak basah.

Aku mulai menyadari: ada yang tidak beres.

Dan mungkin, semua ini baru permulaan.


BAB 2 – Aku Tak Pernah Tidur Nyenyak

Aku ingat pertama kali suara itu muncul benar-benar jelas. Malam gelap, dan udara lembap menusuk. Listrik sempat padam sekitar lima menit. Dan saat cahaya kembali menyala, aku mendengar suara itu.

Bukan dari luar. Tapi dari dalam lemari.

“Arfan…”

Pelan, seperti desah napas. Tapi cukup untuk membuat jantungku terlonjak. Aku tidak langsung menoleh. Seolah tubuhku tahu: apa pun yang berbicara dari dalam lemari itu, tidak ingin dilihat—hanya ingin didengar.

Aku bangkit pelan dari kasur. Senter dari ponsel menggigil dalam genggamanku. Kutatap gagang lemari tua di pojok kamar. Itu lemari yang diwariskan dari kakek. Sudah usang, kadang mengeluarkan suara kayu retak di malam hari.

“Jangan dibuka…”

Kali ini suaranya lebih jelas. Serak, seperti laki-laki tua yang kelelahan. Aku mundur dua langkah. Nafasku pendek. Tapi anehnya, tidak ada teriakan. Tidak ada ketakutan seperti dalam film-film horor. Yang ada hanya… kesedihan.

Aku tidur dengan lampu menyala malam itu. Tapi tidurku tak pernah benar-benar datang. Setiap aku memejamkan mata, suara itu muncul lagi. Kadang menyebut namaku, kadang mengulang satu kata seperti mantra:

“Jangan pergi… jangan pergi… jangan pergi…”

Aku bangun pagi dengan kepala berat dan mata bengkak. Saat membuka pintu, Ibu kaget melihat wajahku.

“Kamu sakit, Fan? Mukamu pucat banget.”

Aku hanya mengangguk. Tidak ingin menjelaskan apa pun. Bagaimana bisa aku menceritakan pada Ibu bahwa lemari tua di kamarku telah bicara semalaman?


Hari-hari berikutnya, suara itu tidak hilang. Bahkan kadang muncul saat aku sedang belajar, atau ketika sedang buang air. Tapi bukan hanya lemari. Jendela juga mulai berbisik. Plafon mulai mengerang. Dan suara dari dalam mulutku sendiri—mulai terdengar asing.

Aku mulai menulis. Membuat catatan suara. Kapan mereka muncul, bagaimana nada bicaranya, pesan yang mereka sampaikan. Awalnya hanya satu-dua. Lama-lama, setiap malam aku mengisi dua halaman penuh.

Suara dari lemari: menyuruhku tidak pergi. Suara dari jendela: memperingatkan agar tidak bicara dengan Ibu. Suara dari langit-langit: bernyanyi lagu masa kecilku.

Yang paling menakutkan adalah suara yang muncul dari pikiranku sendiri, tapi bukan berasal dariku. Suara yang memakai nada dan intonasi suaraku, tapi berkata hal-hal yang tidak pernah kupikirkan.

“Kamu seharusnya hilang sejak dulu.” “Kamu bukan anak Ibu. Cuma kutukan.” “Semua ini salah kamu.”

Aku mencoba melawan. Menutup telinga, menjerit, memukul dinding, sampai Dinda masuk ke kamarku dan memelukku erat.

“Arfan, kamu nggak sendiri.”

Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku menangis.


Esok paginya, Ibu tidak banyak tanya. Tapi aku tahu dia cemas. Dia menelepon Dinda lama sekali. Suaranya berbisik, seolah takut aku mendengar. Tapi suara-suara itu… mendengar lebih jelas dari siapa pun.

“Mereka mau kirim kamu ke tempat orang gila.”

Itu suara dari bawah tempat tidurku.

Aku menatap ke bawah. Gelap. Tapi entah kenapa, kali ini aku tidak merasa takut. Aku hanya merasa… lelah.

Dan itulah malam terakhirku tidur di rumah.

Malam berikutnya, aku berada dalam perjalanan menuju tempat yang tidak pernah kubayangkan akan aku masuki: rumah sakit jiwa.


BAB 3 – Lorong Putih yang Tak Pernah Diam

Kami tiba di pagi yang kelabu. Bangunan itu tidak sebesar bayanganku. Tidak ada pagar berduri atau teriakan histeris seperti dalam film. Yang ada hanya halaman kecil, bangku taman berlumut, dan petugas keamanan yang lebih mirip satpam sekolah.

Namanya bukan rumah sakit jiwa. Nama resminya adalah Pusat Pemulihan Jiwa Mandiri. Bangunan bercat abu-abu pucat, dengan pintu besi yang terbuka otomatis setelah Ibu berbicara lewat interkom.

Aku menggenggam tangan Dinda. Kencang. Dia menoleh, tersenyum, tapi matanya basah. Ibu bicara dengan resepsionis. Suara mereka hilang ditelan kebisingan dalam kepala.

“Mereka nggak akan mengerti kamu.” “Jangan bicara, Arfan. Jangan pernah bicara.” “Tempat ini bukan untukmu.”

Aku menunduk. Telingaku berdengung. Setiap langkah seperti menabrak lapisan-lapisan udara yang tebal. Aku digiring ke lorong utama: putih, panjang, dan terang. Terlalu terang.

Setiap dinding punya lukisan alam. Sungai, hutan, langit biru. Tapi bagiku itu cuma tempelan. Seperti menutupi luka dengan stiker kartun.

Kami melewati beberapa pasien. Ada yang duduk melamun, ada yang menggambar dinding dengan pensil warna, ada yang berbicara sendiri. Tapi mereka tidak menyeramkan. Justru terlihat… biasa.

“Kamu cocok di sini.” “Akhirnya kamu pulang.” “Kita akan senang di sini.”

Aku berhenti. Suara-suara itu bukan dari pasien. Itu dari dalamku. Dan mereka… terdengar senang.


Namaku dipanggil. Seorang wanita berkerudung hijau zaitun menyapaku lembut. Namanya Bu Dina. Psikolog. Suaranya hangat tapi tidak memaksa.

“Kita akan banyak ngobrol, ya, Arfan. Tapi sekarang kamu boleh istirahat dulu.”

Dia mengantarku ke kamar. Kamar itu hanya berisi dua ranjang, dua laci kecil, satu jendela tinggi, dan dinding kosong. Di ranjang seberang, ada seseorang duduk sambil menulis cepat di buku lusuh.

“Hai,” katanya tanpa menoleh. “Nama gue Bagas.”

Suaranya lantang, bersemangat. Terlalu kontras dengan suasana kamar. Aku hanya mengangguk. Dia tertawa.

“Santai aja. Gue juga pertama kali diem di sini kayak mayat hidup.”

Aku duduk di ranjang. Tidak tahu harus bicara apa. Tapi di kepalaku, suara-suara mulai menyatu menjadi satu.

“Akhirnya kamu bertemu dia.” “Bagas akan mengerti.” “Hati-hati. Dia juga gila.”

Aku menatap langit-langit. Putih. Sunyi. Tapi tidak pernah benar-benar diam.

Dan begitulah, hari pertamaku dimulai. Di lorong putih yang tak pernah diam.


BAB 4 – Teman Sekamar Bernama Bagas

Aku terbangun pukul dua dini hari. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena suara pensil yang menari cepat di seberang. Bagas menulis dengan intens. Matanya terbuka lebar, mulutnya bergerak-gerak seperti membaca mantra.

"Lo suka nulis?" tanyanya tiba-tiba, tanpa melihatku.

Aku tidak menjawab. Masih setengah sadar dan bingung apakah dia bicara padaku atau pada dirinya sendiri.

"Gue nulis semua yang gue denger. Semua yang lewat di kepala gue. Soalnya kalau enggak, mereka teriak." Dia akhirnya menoleh. Senyumnya lebar, tapi matanya menyimpan letih yang dalam.

Aku menatap catatan di pangkuannya. Hanya deretan kalimat pendek. Tapi penuh tekanan. Seperti bisikan yang dipaksa menjadi tulisan.

“Jangan buka jendela.” “Lantai dua tidak aman.” “Jangan percaya pada yang berkacamata.”

"Gue udah di sini dua bulan. Kadang mereka baik, kadang nyebelin. Tapi mereka teman juga, ngerti gak lo?" katanya sambil tertawa kecil.

Aku mengangguk pelan. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sepenuhnya aneh.

"Lo dengar juga?" tanyanya.

Aku terdiam sejenak. Lalu menjawab, nyaris berbisik, "Iya. Setiap malam."

Bagas menghela napas lega. "Gue kira cuma gue."

Kami duduk dalam diam. Tapi diam itu tidak kosong. Ada semacam kedekatan yang hanya bisa lahir dari luka yang sama. Dari sunyi yang sama-sama kita bawa.

Lihat selengkapnya